18. Terselimutnya harapan

137 9 0
                                    


"kau melakukan penghianatan sebelum memulai cerita denganku. Seharusnya aku lega, karena bisa melepaskanmu sebelum terlambat. Tapi mengapa aku tak bisa, jangan bilang ini memang sudah terlambat."

–Nichol-

"aku tidak menyukaimu. Itulah yang aku katakan. Tapi ada apa dengan hatiku.. mengapa bersikeras melukiskan namamu di sana. Apakah sekarang ia berkhianat pada pemiliknya?"

–Bintang-

Aku ingin engkau mengerti bahwa rasa sakit yang tertoreh di antara kita sebenarnya adalah pilihan. Pilihan agar kau tetap mempertahankanku atau melepaskanku. Namun aku sadari, bahwa pilihan itu bukan hanya atas dirimu, tapi juga aku. Sehingga akupun harus memilih apa aku harus bertahan atau mengikhlaskan saja.

Jikalau memang engkau kembali, akupun ingin menyambutnya. Menangkap kesempatan yang kita buat oleh reruntuhan ego yang hancur berkeping-keping, tidak menuruti emosi sesaat. Yang kadang berakhir dengan penyesalan.

"kalau lo gak suka kenapa beberapa hari ini lo murung mulu?" suara khas itu, ah siapa lagi kalau bukan Annisa. Aku tidak menggubris ucapan Annisa, tidak tahu ingin menjawab apa. "Bintang, lo jangan murung mulu dong? bingung lho gue ngeliat lo diam kayak batu. Serius, biasanya lo heboh dan sekarang diam kayak orang yang udah enggak ada semangat hidup!" Sabila mengoncang-goncangkan tubuhku, mencoba membangunkan semangatku yang beberapa hari ini surut.

"hm, Sal sakit pinggang gue!" jawabku malas.

Mereka memandangku bingung, tak percaya dengan tingkah yang memang terlihat sangat lesu dan malas-malasan tingkat dunia. "kalau lo butuh refreshing kita siap kok nemanin. Kemana aja yang lo mau!" Annisa memegang pipiku, memaksakan wajahku agar menatap fokus matanya. "apaan sih?" aku menoleh, melepaskan dekapan tangan dari pipiku.

"bilang, bilang lo mau kemana?" tanyanya melipat kedua tangan dengan dagu yang menaik, seolah-olah bisa mengabulkan apapun keinginanku. "gue mau kesurga."

"Astagfirullah!" spontan ia menutup mulutnya dengan telapak tangan rampingnya itu. "nyebut Tang..nyebut! YaAllah.. beneran sakit hati nih cewek!"

"Tang nyebut..nyebut..!" Sabila ikut menimpali, menatap wajahku sendu. "nyebuuuuttt..." balasku panjang.

Tangan Annisa refleks memukul dahinya, "geser udah nih cewek." Ia memandang Sabila, memberi isyarat bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja.

Aku menenggelamkan wajah di atas meja, merapatkan kedua tanganku yang terasa hangat. "gue mau tidur dulu. kalau kalian mau pergi aja kekantin, gue di kelas aja." Ujarku dengan harapan agar mereka benar-benar mendengarkan ucapanku barusan. "lo mau gue belikan roti keju?" tanya Sabila lagi.

Aku mengangkat tanganku cepat, memberi isyarat yang berarti tidak. "yaudah ya, kami kekantin dulu, secepat mungkin bakal balik kesini."

Aku kembali mengangkat tanganku, "sip!" kemudian kembali fokus pada tujuan awal. Yaitu tidur di kelas.

ބބބ

"kalian dengar gak sih? katanya Bintang itu beneran dekat sama kak Nichol. Tapi sayang.. dia dicampakkan karena kak Nichol lebih milih kak Nadia. Awalnya cuman partner kerja di OSIS,eh tahunya cinlok! Gak profesional banget!" Suara berisik itu terdengar dari luar toilet. Aku yang sedang buang air kecil-pun hanya menggigit bibir kecil. "dan lagi ya.. katanya Bintang itu lagi patah hati gara-gara ditinggalin Nichol. Sejenis frustasi gitu.."

Aku menggeram dari dalam toilet. Keterlaluan. "gak ada kerjaan apa jadi gosip di toilet!" batinku kesal.

"eh, siapa yang lo bilang frustasi? Gue?" ujarku mengangkat dagu tinggi, mendadak muncul dari pintu toilet. "siapa yang bilang kalau gue frustasi? Siapa?" ujarku mendekati mereka. Wajahku memerah, menimbulkan kesan angker di sana.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang