"Kau tahu kita sempat melangkah bersisian namun akhirnya melangkah sendiri-sendiri, ibaratnya seperti meninggalkan jejak yang mungkin tak sama lagi langkahnya. Di pemberhentian berikutnya sepatu kita kembali membentuk tapak meninggalkan sebuah jejak, tapi sungguh aku ragu apakah itu akan sama lagi.”
Satu pesan baru…
Saya kirimkan pesan ini padamu sebagai janji yang harus saya tepati.
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan,Yang pertama, saya baik-baik saja, bagaimana denganmu, Bintang?
Yang kedua, Mamah dan Putri titip salam dan rindu padamu, Putra bilang dia titip sebuah kebahagian. Jujur, itu sedikit aneh saat saya harus menuliskannya. Tapi semoga kebahagiaan itu benar-benar sampai padamu.
Yang ketiga, saya akan segera kembali ke Jakarta.
Dan terakhir,
Saya akan bertunangan dengan Aramita dalam waktu dekat ini.Saya rasa saya telah mengirimkan kabar yang kamu minta, dan jika boleh ijinkan saya untuk tahu kabarmu juga.
Tertanda,
Nichol
“Bintang?” sebuah suara membuyarkan lamunanku, aku buru-buru menghapus air mataku yang sejak tadi menetes sempurna, membasahi pipiku yang memerah.
Annisa duduk disampingku dengan semangat, “Pak Hardian gak marah lagi sama kelas kita. Bahkan Bapaknya bangga. Katanya nilai kita sangat memuaskan. Ya meskipun ada satu dua orang yang kena remedial tapi dia kayak bahagia gitu waktu nempel nilai ulangan di mading.” Mata Annisa berbinar-binar, ada perasaan lega terlihat jelas di wajahnya. “syukurlah,” sahutku tak kalah senang.
Hampir satu tahun bermusuhan dengan Pak Hardian, bahkan kelas kami pernah mendapatkan julukan anti sejarah gara-gara masalah yang lalu. Hanya masalah sepele yang membesar karena keisengan anak-anak kelas yang tak ada matinya. Siapa lagi pemimpinnya jika bukan biang kerok, Didin.
“udah ngabarin Didin masalah ini?” tanyaku bermaksud menggoda.
“enggaklah! Ngapain.” Jawab Annisa sensi.
Sementara kami sedang berbincang tiba-tiba Sabila datang dengan membawa sekantong plastik berisi makanan ringan.
“dasar rakus,” Annisa buru-buru mendekati Sabila. “bagi-bagi dong!”
Sabila pasrah saat kami menyerbu dan membuka satu persatu snack nya. “kebiasaan banget pada gak modal.” Ujarnya saat makanan ditangannya juga kami rampas.
“jangan pelit.” Sanggahku cepat.
“yang pelit tuh elo.” Balasnya tak terima.“iyaaa, gue pelit.” Sahutku tak peduli, “enak juga ya rasa rumput laut. Beli lagi dong Bil.”
Annisa mengangguk setuju, “iya Bil, beli lagi.”
Sabila buru-buru mengambil snack nya dan berjalan menjauh menuju tempat duduknya, “ogah, dasar gak modal lo berdua.” Ujarnya memanyunkan bibir.
“iyaaa kan kita missqueen.” Sahut Annisa dengan nada dibuat-buat.
“kaum alay.” Ujar Sabila tak terima dengan ocehan tak berfaedah dari kami. Aku tertawa kecil saat menatap Annisa yang tak henti-hentinya menggoda Sabila. Entah ada angin apa sikap usil Annisa semakin menjadi, dan sensitivitas Sabila sedang meningkat akibat faktor PMS.
Sementara mereka sedang berdebat aku memilih untuk keluar kelas, menuju perpustakaan.“Nak Bintang?” penjaga perpustakaan yang biasanya menjaga diperpus akhirnya kembali, setelah hampir tiga bulan cuti pasca melahirkan. “Bu, udah balik lagi… gimana kabarnya?” tanyaku antusias. “dede bayi sehat?”
Ibu itu tersenyum, “iya Alhamdulillah baik, sehat. Nak Bintang bagaimana?” tanyanya kembali. “Alhamdulillah.” Sahutku mengangguk.“Ibu baru ingat, rasanya kemarin Ibu nemuin buku tulisannya Bintang. Ibu kira itu punya Bintang jadi Ibu simpankan diatas lemari itu.” ujar beliau menunjuk rak buku di belakangku. “oh buku Bintang kali ya?” ujarku lupa-lupa ingat.
“ibu baca?” tanyaku padanya. “gak sempat atuh, ibu kan waktu nemuin udah sore. Jadi langsung ibu taroh diatas. Waktu itu Ibu pernah bilang sama penjaga perpus sebelumnya sebelum ibu cuti buat ngasih tahu, tapi mungkin dia lupa.” Ujar Beliau memberikan buku berwarna coklat dengan tulisan Bintang di pinggiran buku.
“oh oke, makasih ya Bu.” aku membawa buku itu di meja pojok, kuletakan buku dan pulpen yang sebelumnya sengaja kubawa. Aku berniat membalas surat darinya, namun buku digenggamanku lebih membuatku penasaran, jadi kutinggalkan sejenak sampai aku tahu apa isi buku itu.
Namanya memang Bintang, namun isinya hanyalah tulisan rumus-rumus matematika. Dalam hati aku membatin, mungkin anak kelas lain yang juga memiliki nama yang sama denganku. Namun tulisan apik yang kukenal membuatku gigih membuka lembaran demi lembaran itu lebih jauh. Dan aku mengenalinya, ini adalah tulisan tangan Nichol.“semangat Bintang.” Aku membuka halaman yang berada ditengah-tengah kertas putih yang belum tercoret, “jangan menyerah.. kamu hampir berhasil.” Aku membaca lembaran demi lembaran yang ia beri spasi setiap kalimat yang ia tulis. Kalimat bertuliskan tinta hitam yang tebal.
“kamu memang telah berhasil membuktikannya. Kamu memang Bintangku yang dulu.” tulisnya dilembaran berikutnya.
“Bintang yang pernah pergi dulu.”
Dahiku berkerut membacanya, “gue atau siapa?” tanyaku mulai penasaran.
Tiba-tiba aku melihat di lembar berikutnya seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang sedang memegang bola ditangannya, ia juga menggandeng anak perempuan yang tersenyum ompong mengadap kamera. Gadis di foto itu adalah…Aku.
Aku ingat sekali. karena difoto itu gadis yang memegang es krim yang nyaris jatuh itu adalah aku. Aku mempunyai satu foto itu pula, namun tanpa anak laki-laki itu. jadi sebenarnya ini...apa?[Bersambung...]

KAMU SEDANG MEMBACA
He's STAR
Teen Fiction[ON GOING] - Bintang. Anak baru yang membuat masalah di hari pertama MOS, dan mengibarkan bendera permusuhan kepada Ketua OSIS yang di puja-puja di sekolah. Kegilaannya membuat Nichol sang Ketua OSIS merasa diteror sang Alien dari negeri antah-be...