20. Tentang kami

135 9 0
                                    

Lagi-lagi kelas kembali kosong. Pak Hardian tidak juga masuk hingga detik ini. Entah sudah berapa minggu lebih beliau merajuk, enggan menginjakkan kaki di kelas kami.

Hampir setiap kali pelajaran beliau, kami harus mengerjakan tugas-tugas yang luar biasa banyak.

Entah harus berapa kali pula aku harus mengatakan bahwa jari-jari ini butuh cetokan agar bisa kembali lurus. “Keriting pulalah ini jari-jari.”

Namun tidak hari ini, tugas yang diberikan Pak Hardian sangat sedikit. Hanya sepuluh soal pilihan ganda. Sehingga kami masih mempunyai banyak waktu luang. Tumben sekali. 

Mungkin saja malam tadi Pak Hardian bermimpi bertemu Didin sedang membeli cetokan untuk meluruskan kembali jari-jari tangan sehingga beliau mau berbaik hati pada kami semua. Mungkin saja.

“maafkan aku jadi suka sama kamu.. awalnya curhat lama-lama kucemburu.. maafkan aku yang mengharapkan cintamu..”

Didin memainkan gitar milik Dion yang ia rampas saat jam istirahat tadi. Entah bagaimana Dion bisa akrab dengan orang seperti Didin.

Maksudnya Dion adalah anak yang pintar, akrab dengan guru-guru, dipercayai sebagai ketua kelas dan masih banyak kelebihan yang ia punya.

Sedangkan Didin sang perusuh kelas malah merampas gitar miliknya dengan alasan ingin menembak cewek. Dan parahnya, Dion tak bisa mempertahankan gitar miliknya itu. Why Dion why?!

Ya walau Didin berpegang pada style ‘berandalan’ tetap saja ia adalah teman yang asyik. Dan orang asyik berteman dengan yang asyik.  Mungkin begitulah mengapa keselarasan bisa hadir di antara mereka. 

“Nis.. lihat gue dong!” suara yang tadinya gaduh mendadak sepi.
“woi..woi.. malaikat lewat!” ujar Diana buka suara

Aku memandang Annisa yang terlihat acuh sambil membaca buku di tangannya. “ssttt.. Nis, dipanggil bebeb tuh!” ujarku sedikit berteriak.
“apaan sih! iyuh banget!” balasnya tanpa menoleh.

Sabila membalikkan badannya, ia menarik buku di tangan Annisa. “yaelah Nis, gue kira ngapain? Ternyata baca matematika toh!”

Aku berusaha menahan tawaku, “kayaknya ada yang lagi salah tingkah nih!”

“eng..enggak kok! sembarangan!” balas Annisa menatapku cepat, kemudian berbalik kembali pada posisi awal.

“pegang tangannya Bil!” aku menyuruh Sabila memegang tangan Annisa, apakah dingin atau bagaimana. “gilaaa.. frozen!” ujar Sabila pura-pura kaget, kemudian tertawa lucu.

Ya walaupun kadang Didin dan Annisa sering bertengkar namun entah bagaimana aku bisa merasakan puing-puing harapan dari masing-masing insan itu.

Walaupun Annisa tidak pernah membalas gombalan Didin, dan Didin tidak pernah menjadi seseorang yang selalu Annisa idam-idamkan namun cara mereka bertingkah sudah memberikan jawaban bahwa mereka sama-sama menyimpan rasa.

“Nis, kok lo gak mau balik badan sih? harus gue kasih instruksi dulu? balik kanan grak!!” ujar Didin lagi.

Annisa tidak menghiraukan, bahkan ia semakin erat memegang buku di tangannya. Kursi miliknya ia geser mendekati meja membuatnya seolah-olah terkurung di antaranya. “bodo!”

Aku menatap Didin cepat, “dia kayaknya malu Din.”

Didin tersenyum samar, “lo tahu lagu kesukaan cewek galak itu? dan liriknya gimana?” tanyanya memajukan bibir, menunjuk objek di depan. Siapa lagi kalau bukan Annisa.

“oh itu.. dia suka lagu yang liriknya gini, cukup sekali…”

“udah gue tahu!” ujar Didin menyuruh untuk berhenti. “tap..tapi Din..” ujarku lagi. “udah tenang aja gue tahu kok lagunya.” sahutnya yakin.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang