34. 60 s

65 3 2
                                    

[London–di bulan Juni]

"Selamat tinggal cinta, selamat tinggal. Inilah saat yang tepat untuk melepaskan genggaman erat itu. lepaskan saja, agar senja tak lagi menjadi istimewa seperti saat kita pernah bersama."

Saat waktu mengijinkan senja menghampiri kita, menceritakan betapa hangat dan dalam perasaan yang kita punya, menjanjikan cerita indah seperti Cinderella, saat itu pula kita lupa bahwa rasa sakit bisa datang kapan saja. Janji yang pernah terucapkan, meski hanya seperti hembusan angin, namun aku masih mengingatnya. Aku ingat setiap detail kata yang terekam di kepalaku. Terekam indah saat kita berjalan bersisian, saat kita bersama.

Aku akan mengulang kata-kata itu lagi, khusus untukmu. Jadi dengarkanlah.

Senja,

Kamu lihat kan?

Berjanjilah untuk terus merekam memori indah ini.

Bahkan besok, besok, besok, dan besok.

Saat aku masih bisa berlari,

Berjalan,

Merangkak,

Diam,

Bahkan terbujur kaku.

Simpanlah kenangan ini, karena aku akan merindukannya.

Dia akan merindukannya.

Siapapun di antara kami yang akan pergi suatu hari nanti ... baik aku ataupun dia.

Aku hanya minta satu hal, selipkanlah dalam catatan hidupnya bahwa momen ini pernah ada.

Bahwa aku pernah berdiri di sampingnya, sebagai seseorang yang ia cintai...

Haruskah kuulangi sekali lagi, bahwa siapapun yang akan pergi suatu hari nanti—bodoh. Aku tahu, seharusnya aku tahu bahwa kalimat itulah yang kini sedang terjadi padaku. Lalu bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?

"Aramita" Nichol memperkenalkanku pada seorang gadis berambut coklat terurai, gadis itu memakai kacamata yang semakin membuatnya terlihat sangat anggun. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana fisiknya, semua terlihat sangat sempurna jika dibandingkan denganku.

"Bintang" sahutku mencoba tetap tegar. Tak ada sedikitpun senyum dariku, tak ada pula wajah benci, hanya datar dan kosong. Tak ada libatan ekspresi yang menyenangkan untuk menciptakan kesan pertama yang baik. maafkan aku, tapi aku memang tak harus memaksakan apapun yang aku tak bisa lakukan lagi.

Aku merapatkan sweater tebalku, sekilas aku melihat kebelakang kearah mamah yang menunjukkan ekspresi tabahnya. Disebelahnya ada tante Andien, menemani mamah. Memang ini sedikit rumit, namun lebih baik daripada ada kesalahpahaman yang terus berlanjut.

Aku kembali pada posisiku, kepalaku sedikit menunduk, tak henti-hentinya jari tanganku saling bertautan untuk sekedar mencari-cari kegiatan penghilang keresahanku. Semua terasa sepi, tak ada satu patah katapun yang terucap dari bibirku ataupun Aramita dan Nichol. semua tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"saya rasa... saya permisi sebentar," Aramita menatap kearah Nichol sembari meminta ijin untuk pergi sebentar, "gak papa kan kalau saya tinggal dulu?" kali ini Aramita menatap kearahku, meminta persetujuan kedua dariku.

"silahkan," aku menjawab seadanya, sementara Nichol hanya memberikan anggukan kepala sebagai bentuk responnya. Aramita memegang lengan Nichol lembut sebelum ia pergi meninggalkannya, aku tak mengabaikan pemandangan ini, aku hanya diam sembari menautkan jari-jariku di bawah meja.

Keheningan kembali menyeruak di antara kami, menutup celah untuk berbicara. Walau bagaimanapun aku berharap Nichol-lah yang lebih dulu memulai obrolan, tak salah kan? kupikir itulah satu sikap egois dari cewek yang bertahan sampai sekarang.

He's STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang