Malam ini sekitar jam delapan lewat kami berkumpul di dalam kamarku. Bersamaan dengan tatapan maut dari Sabila, wajah itu memberikan arti sedang menunggu penjelasan. "ceritain." Ujarnya buka suara. Wajahnya yang biasanya sweet berubah jadi scary.
Aku nyengir, mencoba mencairkan ketegangan. "hehehe... tapi, kalian jangan ketawa atau ngeledek gue ya." Ujarku sebelum memulai cerita.
"hmm, udah ceritain." Annisa mendekatiku dengan mengambil boneka Chelsea milikku. "jangan itu Nis, pakai yang lain aja. Gue sayang banget itu." aku mengambil bantal itu cepat dan mendekapnya erat.
"okelah terserah lo." kali ini ia mengambil bantal berbentuk love yang sengaja kuletakkan di sudut tempat tidur.
"hmm, oke. Jadi gini ceritanya..." ujarku mulai menceritakan kronologis kejadian kenapa aku bisa berada di rumah Nichol, dari awal saat Putra menunggu di depan gerbang sampai dengan kata yang Nichol ucapkan sore itu. kata-kata yang membuat aku tercekat untuk beberapa saat. "serius gue gak percaya. Secara itu bukan kata-kata yang biasanya di bilang, maksud gue bukan dia banget." Ujarku serba salah, karena seperti mengarang kisah. Padahal, memang itu kenyataannya.
"Tang.. gue cuman mau bilang." Annisa buka suara, wajahnya tampak datar sekali, tak terlihat senyum sedikitpun dari wajahnya. "lo...beruntung banget!" ujarnya meledakkan emosi yang sedari tadi tertahan. "serius.. gue kaget banget dengar cerita lo, tapi gue berusaha untuk biasa aja. Tapi-tapi gak bisa!" ujarnya antusias sekali.
Sabila tersenyum lebar, mengangguk setuju dengan apapun yang Annisa lontarkan. "iya, tapi gue gak percaya aja. Impossible banget, kalian tahu kan? Dia itu..." ujarku terpotong. "perfect?" sela Annisa. "gak ada yang sempurna." Sahutku lagi. "mungkin nyaris." Sabila ikut menyahut. "whatever!"
Annisa terlihat paling bersemangat membahas hal ini, apapun dia lontarkan. Mulai dari bagaimana jika aku dan Nichol sampai jadian, hingga menjadi trending topic di sekolah. Sampai-sampai aku bisa melihatnya mencuri celah untuk bernapas saking semangatnya. "gue tahu.. tapi gue gak ada rasa apapun sama dia. Awalnya sih iya, oke gue ngaku. Tapi sekarang.. gue menganggap dia itu hanya sebagai senior sekaligus teman gue. Itu aja." Ujarku mengungkap kegelisahan yang aku rasa.
Karena memang faktanya sudah lain. Aku pernah kagum dengan Nichol, tapi itu kemarin. Sedangkan hari ini sudah berbeda, kosong. Sesingkat itu, hanya beberapa hari saja waktu sudah berhasil merubah perasaanku. Mempertemukanku dengan seseorang yang lain. Seseorang yang membuatku merasa menemukan. "jadi gimana dong?"
"ya beginilah siklus cinta, kadang waktu kita suka eh dianya yang gak peka. Sekarang giliran kita gak suka rasa pekanya sampai di dia." Annisa melengos pasrah. "jadi gimana? Elo terima gak?" tanya Sabila lagi. aku melotot. "apanya diterima? Dia gak nembak kok."
"Tang, would you be mine itu sama aja kayak lo mau gak jadi pacar gue. Lo kan anak EC masa elo gak ngerti." Annisa mengusap wajahnya gemas. "polos banget."
Aku merengut. "dengar ya, gue tuh gak pernah pacaran. Mana gue tahu would you be mine itu artinya kek gitu. Lagian gue di EC gak cuman ngebahas cinta doang. Masih banyak kosakata yang harus gue hapal, dan itu lebih penting daripada hanya mikiran cinta. Get it?" aku balas menyemprot Annisa dengan kata-kata pedasku.
"okeh pemirsa, jangan pada emosi." Sabila melerai adu mulut di antara kami. "okeh, kita gak maksa kok elo sama Nichol, cuman semoga aja elo gak nyesel." Ujar Sabila memandangku dalam, memberikan isyarat yang tak bisa langsung kumengerti. "gue pikir-pikir lagi. lagian bisa aja kemarin dia mabuk darat, makanya ngomong ngawur kayak gitu."
"terserah loh!" ujar Annisa tepat di depan wajahku. "nyemprot kampret! Liur lo!" aku mendorong wajahnya dengan bantal. "kena bantal Chelsea lo. hahaha!" tawanya senang. "ihhhhhh.. Annisa. Jijik banget!" aku berlari keluar kamar. Bergegas menuju kamar mandi untuk meletakkan bantal itu di dalam mesin cuci. "iseng banget sih tuh anak!" gerutuku kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's STAR
Genç Kurgu[ON GOING] - Bintang. Anak baru yang membuat masalah di hari pertama MOS, dan mengibarkan bendera permusuhan kepada Ketua OSIS yang di puja-puja di sekolah. Kegilaannya membuat Nichol sang Ketua OSIS merasa diteror sang Alien dari negeri antah-be...