Bab 14. Perang Dingin

27 9 4
                                    

Jika tersirat kejanggalan dihatimu, ungkapkan lah. Selagi masih ada kesempatan. Tapi, bukan dengan emosional. Apalagi ego menguasai, utarakan lah dengan kepala dingin dan kebijaksanaan dengan menunjukkan sisi kedewasaanmu.

~ Seberkas Jejak Santri ~

Karya Serpihan Ilalang

==========♡♡♡♡♡==========

"Maaf lo... emm." Zalfa menghela nafas.

"Lama banget sih, tinggal jawab aja," cecar Rafka.

"Do'a lo nggak terkabul, selamat lo KETERIMAAA... Mungkin ini yang terbaik yang telah Alloh tetapkan buat lo," jawab Zalfa dengan menekan kata diterimanya.

"Yaaah, ya udah deh. Alhamdulillah kalau gitu."

"Gimana dik, keterima?" sela ibu saat Rafka masih ngobrol di telepon dengan Zalfa. Rafka hanya menganggukkan kepala tak bersemangat.

"Alhamdulillah..." ucap serentak kedua orangtuanya.

***

Lusa Rafka berangkat ke Purwokerto guna untuk registrasi awal. Dulu Zalfa semuanya serba sendiri dari tes awal, registrasi, dan lainnya Zalfa kerjakan sendiri. Berbeda dengan adiknya yang apa-apa melibatkan keluarganya dari mulai pendaftaran, ngurusin berkas-berkas semuanya dikerjakan Zalfa.

Saat pemberangkatan pun ditemani sang ibu atau bapak. Yah karena bagaimanapun Zalfa pernah merasakan apa yang dirasakan adiknya yaitu terpaksa kuliah. Tapi Zalfa tetap menerima dan menjalaninya sesuka hati meski rasa tertekan, terpaksa pasti ada tapi itu semua tidak ada apa-apanya demi sebuah kebahagiaan orang tuanya.

Dan sekarang Zalfa berjanji kepada dirinya, orang tua, dan adiknya. Apapun yang nanti adiknya butuhkan Zalfa akan berusaha sebisa mungkin untuk membantunya dan berusaha menjadi anak sekaligus kakak yang baik, setidaknya ia akan terus berusaha agar tidak mengecewakkan kedua orang tuanya.

Zalfa ingat minggu lalu saat ibunya menelepon. Sang ibu menangis, mengatakan bahwa adiknya nggak mau diterusin. Tidak mau ambil pusing repot-repot mikir kuliah.

Tapi sampai akhirnya dengan bujukan Zalfa akhirnya Rafka mau hingga akhirnya saat ini Rafka dan ibunya sekarang sedang dalam perjalanan.

Zalfa melamun sambil menunggu kedatangan adik dan ibunya, kembali mengingat saat ibunya menelepon minggu lalu. Karena tangisan ibu selalu terngiang dalam benaknya.

"Fa..."

"Iya ma..."

"Adikmu, tidak lagi mau mengambil kuliahnya. Dia malah melontarkan kata kasar pada mama. Mama sakit Fa sakit..." ucapnya dengan sesenggukkan. Meski hanya dalam telepon, tapi Zalfa tahu kalau ibunya sedang menangis.

"Tenang ma, mama bicarakan saja baik-baik. Rafka itu masih labil masih harus dibilangin pelan-pelan, kalau dinasihati baik-baik dia mau mendengarkan kok."

"Iya tapi, sekarang dia itu keterlaluan. Sejak kamu mondok ke Purwokerto adikmu berubah Fa, dia jadi suka membangkang perkataan orang tua. Apa mungkin dia salah pergaulan?"

"Boleh jadi itu salah satu faktornya ma, dia masih dalam proses pendewasaan. Dia berbuat demikian juga mungkin karena menurut dia benar. Maaf, mungkin dari perkataan mama juga ada yang salah. Seorang anak juga perlu didengarkan isi hatinya ma. Bukan hanya menerima kemarahan orang tuanya yang belum tentu salah. Terkadang orang tua tanpa sadar mengatakkan yang membuat anaknya tersinggung atau hal lainnya, tapi seorang anak nggak ingin nangis di depan orang tuanya. Apalagi cowok, mama tahu sendiri kan Rafka nggak pernah nangis? Saat dimarahin bapak atau mama. Atau mungkin masalah diluaran sana di sekolah atau ditempat lain yang mungkin orang tua tak pernah tahu."

Seberkas Jejak Santri (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang