5 - Bunda untuk Kaila

2K 276 5
                                    

12.30

Bian terus menerus memikirkan perkataan Mama Hanna. Andai Mama Hanna tahu yang sebenarnya, bahwa Bian merasa trauma berkenalan dengan seorang perempuan. Tapi, jika Mama Hanna tahu juga pasti dia akan sangat kecewa. Karena Bian menjadi orang egois yang tidak mau memikirkan bagaimana Kaila di masa yang akan datang.

Tidak ada yang salah dengan seorang single parent, pun tidak ada yang salah dengan merawat anak seorang diri, namun apakah mental Kaila akan baik-baik saja? Mengingat dia saat ini merasa iri dengan teman-temannya karena hampir sebagian dari mereka masih memiliki orang tua yang lengkap. Jika terus-menerus Kaila merasakan hal demikian, pasti bocah berumur lima tahun itu akan merasa tertekan.

Disela-sela Bian yang sedang termenung, tiba-tiba handphonenya berbunyi tanda telepon masuk. Bian melihat layar, ternyata Vano, sahabat karibnya semenjak dulu. Bian pun segera mengangkat telepon itu.

"Halo." Suara Bian mengawali.

"Lo lagi sibuk ngga?" Kata Vano di seberang sana.

"Engga, kenapa?"

"Ini, nyokap gue, kan, baru pulang dari Bali. Ada pie susu buat Tante Hanna, gue titip ke lo aja, ya. Mumpung gue lewat kantor lo."

Ah, moment yang tepat. Bian mungkin bisa bercerita masalahnya ini ke Vano. Sedikit banyak dia pasti akan mendapat pencerahan.

"Oke, gue tunggu. Nanti lo ke resepsionis depan, bilang aja udah ada janji sama gue." Kata Bian.

"Oke, dua puluh menit lagi gue sampe."

Bian pun mematikan panggilannya dengan Vano. Duduk termenung sambil membuka-buka beberapa dokumen yang digunakan meeting siang tadi. Sekitar dua puluh menit setelahnya, Vano datang langsung masuk ke dalam ruang kerja Bian.

"Assalamualaikum, Bos." Ledek Vano yang melihat Bian tengah melamun. "Ngelamun aja, nih." Vano pun duduk di kursi tamu ruang kerja Bian.

Bian yang sedang berada di meja kerjanya pun keluar untuk menemui Vano. "Waalaikumsalam. Mau minum apa, lo?" Tanya Bian.

"Ngga usah, gue bentaran aja, kok, di sini. Nih, pie susu buat Tante Hanna." Vano menyerahkan paper bag. "Oke, thank you, ya. Nanti gue kasih ke Mama." Bian mengambil dan meletakkannya di rak samping kirinya.

"Btw, lo kenapa, si? Gue dateng lo ngalamun. Gue ketuk pintu aja kayaknya lo ngga sadar, kan?" Vano memang sahabat terbaik. Sudah berkawan sejak lama, bahkan sedari kecil. Mereka sudah seperti kakak beradik.

"Gue mau minta pendapat sama lo, deh."

"Gimana?" Tanya Vano membenarkan duduknya.

"Jadi, lo tau, kan, kalo Kaila dari kecil gue yang rawat sama Mama. Dia ngga kenal sosok seorang Ibu sama sekali. Walaupun sempet diurus sama Dinda, tapi itu cuma sekitar empat bulan aja." Kata Bisa memulai ceritanya. "Terus?" Tanya Vano.

"Nah, kemaren kata Mama, Kaila tiba-tiba tanya di mana Bundanya? Dia ngga punya Bunda, ya? Kaila pengen kaya temen-temennya yang punya Mama. Intinya gitu, lah." Jelas Bian. Bian mengambil napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.

"Permasalahannya di sini, gue masih agak trauma kenal sama yang namanya cewe. Gue sedikit banyak masih takut kalo nantinya gue bakal ditinggalin lagi. Sebenernya alasan kedua itu karena gue takut Mama terpukul lagi, sih, seandainya itu terjadi. Menurut lo gimana, Van?" Tanya Bian pada Vano.

"Gini, loh, lo harus punya pemikiran kalo semua cewe, tuh, ngga gitu. Masih banyak cewe baik yang bisa berbakti sama suaminya, yang masih baik sama anaknya, yang masih baik sama mertuanya, yang setia, yang ngga bakal ninggalin pasangannya apapun yang terjadi, masih banyak. Jadi, lo jangan punya pikiran kalo semua cewe bakal gitu." Jawab Vano meyakinkan Bian.

"Gue tau lo trauma, tapi kenapa lo ngga nyoba buat nyembuhin itu semua? Lo memulai lagi semua dari nol, lo memulai lagi dengan suasana yang baru. Gue yakin, kok, lo bakalan bisa keluar dari zona itu asal dari dalam diri lo juga mau. Apalagi sekarang demi Kaila. Masa lo mau jadi Ayah yang egois buat anak kesayangan lo?" Vano sudah seperti Mario Teguh. Benar-benar bijak. Padahal dia belum menikah, aneh sekali.

"Gitu, ya?" Kata Bian dengan polosnya. "Ya, itu terserah lo mau gimana. Tapi yang jelas, ngga semua cewe kaya Dinda dan lo harus bisa keluar dari zona trauma lo."

Vano memberikan wejangan singkat yang dia harap bisa menampar sedikit perasaan Bian. Vano memang sudah meminta Bian untuk mencari pendamping hidup lagi setelah pernikahannya yang gagal tempo hari, namun Bian masih sungkan. Sejak kapan tahu Vano menyuruh, hingga saat ini Bian pun menyerah karena desakan orang-orang terdekatnya.

"Udah? Gue mau cabut, nih. Soalnya gue masih mau ke rumah calon istri." Kata Vano sambil menyeringai meledek Bian. "Udah, thanks, ya. Gue pikirin lagi, deh." Jawab Bian sambil tos menggunakan genggaman tangan dengan Vano.

Setelah Vano berlalu pergi, Bian terdiam sambil berpikir perkataan Vano. "Ada benernya juga, gue harus mau keluar dari zona trauma ini." Gumam Bian dalam diam. Dia pun berdiri melanjutkan pekerjaan yang sebelumnya tertunda.

Istirahat dzuhur kali ini Nara tak keluar dari ruangannya untuk makan. Sebenernya perutnya keroncongan, tapi dia masih bisa tahan karena akan menyelesaikan laporan yang tadi diberikan oleh Bian. Shalat dzuhur pun Nara lakukan di ruang kerjanya.

Aninku Sayangku

Kantin?

Lagi ngerjain laporan, huhu

Aku ngga keluar istirahat ini

Nanggung, ah

Heh, harus makan, ya!

Iya, nanti makan.

Udah, ya, mau lanjut kerja dulu

Nara membulatkan tekad untuk menyelesaikan laporannya ini. Ya, walaupun belum selesai 100%, setidaknya besok tak terlalu berat bebannya. Setelah shalat dzuhur, Nara beristirahat sejenak. Bahkan rasa laparnya sudah hilang hanya karena dia minum segelas air. Memang jika seseorang sedang sibuk, rasa lapar yang dirasakan akan semudah itu hilang.

Satu jam berlalu, Nara masih berkutat dengan komputernya. Hanya ada suara ketikan keyboard yang menemani Nara saat ini.

Dua jam berlalu, laporannya sudah hampir selesai namun Nara baru tersadar kalau ini sudah jam untuk pulang. Bekerja benar-benar membuatnya lupa waktu. Handphonenya berbunyi, ada sebuah panggilan dari Anin.

"Halo."

"Pulang, ayo. Gila, kerja bikin kamu lupa sama waktu. Aku tunggu di depan, kita ke parkiran motor bareng." Nara melihat jam yang melingkar di tangannya, benar saja, sudah menunjukkan angka setengah lima lebih lima menit. "Iya, bentar. Beres-beres tiga menit." Jawab Nara yang kemudian menyudahi teleponnya itu.

Setelah semuanya selesai, Nara keluar dari ruangannya menuju tempat yang dimaksud Anin tadi. Ternyata dia berpapasan dengan Bian. Nara hanya memberikan senyum kecil pada bosnya itu sebagai tanda hormat.

Hari ini benar-benar hari yang melelahkan untuk seorang Nara. Seperti sedang dikerjai oleh Bian. Revisi sana-sini, menemani meeting, belum lagi dikejar deadline. Setelah sampai di parkiran, Nara dan Anin berpisah. Rumah mereka memang sudah tidak searah karena Anin yang pindah rumah beberapa bulan lalu. Nara pun melajukan motornya keluar dari parkiran. Hanya butuh sekitar tiga puluh menit Nara sampai di rumahnya.

-to be continued-

⭐ jangan lupa pencet bintangnya; terima kasih♡

Amerta - [The Other Side of Aldebaran & Andin] [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang