64 - Kewala

2.4K 358 179
                                    

🦋 Halohai! 🦋

Bahagia banget aku produktif nulis, ngga suka ilang-ilangan lagi, wkwk. Kalian seneng juga ngga kalau Amerta rajin update? 😎🤟🏻

Ngga ada berhenti-berhentinya aku mengucapkan terima kasih ke kalian yang masih setia sama Amerta, ya. Semoga selalu jadi cerita yang bisa kalian nikmati.

Btw, komentar di part kemarin mood banget, aku baca sambil senyam-senyum bahkan sampe ketawa. Di part ini komentar yang banyak juga, ya, biar mood-ku naik terus semangat nulis, deh. Jangan lupa pencet bintangnya juga, ya! 🤩

Selamat membaca, semoga suka sama part ini.

Kewala; sendiri.

-

Dua minggu kemudian;

Senin; 14.00

Terhitung masih pukul dua siang namun dari dalam kamar Nara sudah mendengar derungan mobil. Siapa lagi jika bukan suaminya? Nara pun mengerutkan keningnya heran karena tidak biasanya suaminya itu pulang sangat awal seperti sekarang ini.

Nara bisa mendengar derungan mobil karena kamar yang sedang ditempatinya merupakan kamar di lantai satu. Kamarnya sudah berada di lantai satu semenjak lima hari lalu. Nara sebenarnya masih menyanggupi untuk naik turun tangga, namun ada satu hari di mana Nara hampir saja terpeleset dan hal itu terjadi tepat di depan mata Bian.

Tidak segan-segan Bian langsung menegur Nara untuk berhati-hati dan dengan cepat pula Bian menyuruh Mang Ujang, Mbok Nah, dan Ncus Nina untuk membantu memindahkan baju-baju Nara menuju kamar bawah. Jika sudah demikian, Nara tidak bisa menolak. Dia sudah kalah telak.

Siang ini pun Nara hanya berada di kamarnya sambil membaca buku parenting anak. Sedikit banyak Nara memang sudah mengetahui bagaimana cara merawat seorang anak karena ia pun sudah merawat Kaila selama hampir satu tahun, namun merawat bayi merah Nara belum pernah. Hal itulah yang menjadikan Nara sedang rajin-rajinnya membaca buku semacam itu.

"Assalamualaikum," suara Bian memecah keheningan di kamar. "Ra, koper saya yang kecil di mana?" tanya Bian sambil membuka lemari pakaian. "Masih di kamar atas, ya?" tanyanya lagi.

Napasnya terengah-engah terlihat seperti orang yang tergesa-gesa. Nara pun menutup buku bacaannya dan meletakkan buku tersebut di nakas.

"Masih di kamar atas kayaknya. Kenapa? Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Nara.

"Tanyanya nanti, ya, sambil saya dapat info berangkat jam berapa. Saya mau ke kamar atas dulu ambil beberapa baju juga," pamit Bian.

Dengan langkah gontai setengah berlari Bian keluar dari kamar dan suara langkah kakinya dapat terdengar dengan jelas saat menaiki tangga satu persatu. Kurang dari sepuluh menit Bian kembali ke kamar bawah dengan mengangkat koper berwarna silver yang berukuran kecil itu. Nara yang melihat hanya bisa menggelengkan kepalanya. Entah hal apa yang sedang dan akan dilakukan oleh suaminya itu.

"Mas, kamu mau ke mana?" tanya Nara sambil menyeka keringat di kening Bian.

Bian yang tengah membuka pesan dari seseorang pun bernapas lega. Keberangkatannya diundur menjadi pukul empat sore rupanya. Setidaknya masih ada waktu dua jam untuk bersiap-siap dengan lebih santai. "Saya mau ke Yogyakarta, tiga hari," jawab Bian sambil menatap kedua manik mata istrinya.

Menunduk sedikit karena tubuh Bian lebih jangkung daripada tubuh Nara. Mendengar penuturan suaminya itu, Nara membeku. Mundur satu langkah dan menghembuskan napasnya kasar. Lalu Nara tersenyum kecut.

Amerta - [The Other Side of Aldebaran & Andin] [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang