38 - Amarah

2.6K 354 119
                                    

-Bersiap huru-hara kedua-

------

[Satu minggu kemudian]


18.30

Setelah salat maghrib berjamaah dengan Bian, Nara lekas membereskan mukena dan sajadahnya. Dia pun turun menuju meja makan untuk melaksanakan makan malam. Satu minggu ini dia benar-benar sibuk. Itu karena Nara membantu keperluan Anin untuk menikah. Seperti saat kemarin dia akan menikah, Anin juga yang membantu dari nol hingga hari h. Sekarang giliran dia yang harus mau direpotkan.

Sama dengan Nara, Bian pun akhir-akhir ini cukup sibuk. Akhir bulan September dan saat ini sudah awal Bulan Oktober membuatnya menghabiskan waktu untuk bekerja lebih keras. Dia harus menyusun rencana untuk satu bulan ke depan demi kemajuan perusahaannya.

Laporan akhir bulan kemarin sedikit salah kaprah. Perhitungan keuangan tidak tepat, proyek yang harus diselesaikan juga cukup banyak, membuat mood Bian akhir-akhir ini agak berantakan. Kepalanya sudah mau pecah.

Di meja makan sudah ada Hanna dan Kaila yang tengah menunggu Bian dan Nara. Bian pun duduk di kursi miliknya seperti biasa. Nara duduk di depan Hanna juga seperti biasa. Nara pun mengambilkan nasi dan lauk untuk suaminya itu.

"Besok kamu pergi lagi?" tanya Bian kepada istrinya itu. Nara mengangguk. Selama satu minggu ini Nara sering keluar rumah. Dia benar-benar sibuk seperti ikut menjadi pengantin.

Kaila yang menyadari itu pun menoleh. "Bunda sibuk banget, ya?" tanya Kaila yang juga merasakan satu minggu ini benar-benar tidak dekat dengan bundanya itu. Nara lekas mengusap rambut Kaila dengan sayang. "Maafin Bunda, ya. Satu minggu lagi selesai, kok," ujar Nara sambil tersenyum. Sebenarnya merasa tak enak hati, waktunya untuk keluarga jelas sangat kurang. Namun, harus bagaimana lagi?

Bian pun terdiam. Dua hari lalu dia sudah menasehati Nara untuk istirahat, untuk di rumah, sekadar menjaga Kaila. Akhir bulan seperti ini, pekerjaannya juga sedang banyak. Satu dua kali bahkan dia sering lembur. Kaila? Di rumah sendiri bersama Hanna. Orang tuanya sibuk.

"Ngga bisa sehari aja besok di rumah? Seminggu ini kamu udah keluar rumah berapa kali coba? Weekend aja kamu keluar," tanya Bian setelah meneguk air minum yang berada di depannya.

"Besok justru penting, Mas. Anin mau fitting baju terakhir," jawab Nara.

Bian menggelengkan kepalanya. Seperti tanda sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. "Saya ngga ngelarang kamu buat pergi setiap hari, Ra. Tapi, kamu juga harus inget kewajibanmu, sebagai istri, sebagai ibu," ucap Bian pada akhirnya.

Bian memberhentikan sejenak makan malamnya. "Saya tahu, Anin juga yang udah bantu banyak saat dulu kita mau menikah, tapi, kan sekarang kondisinya udah beda. Kamu udah punya suami, kamu udah punya anak, yang ngga semudah itu buat ditinggalin," jelas Bian seperti mengungkapkan isi hatinya beberapa hari ini.

Kaila yang tidak mengerti pembicaraan orang-orang di sekitarnya ini hanya diam. Semoga Kaila memang tidak mengerti sungguhan. Hanna mengusap tangan Bian. Dia menggelengkan kepalanya, lalu melirik Kaila. Bian paham, dia sudah kelepasan untuk berkata seperti ini di depan putrinya.

"Udah, lah, Bian. Anin, kan, sahabat Nara. Lagian Kaila sama Mama, sama Ncus Nina," ungkap Hanna mendinginkan suasana.

Bian menghela napasnya kasar. "Bukan gitu, Ma, maksud aku, aku cuma ngga mau Nara tumbang lagi kaya minggu kemarin. Ini demi kesehatan dia juga, kok. Kaila juga akhir-akhir ini aku tinggal lembur, kerjaanku lagi banyak, siapa lagi yang mau ngurus dia? Mama juga harus istirahat," kata Bian menjelaskan pada Mamanya itu.

Amerta - [The Other Side of Aldebaran & Andin] [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang