50 - Cerita

2.4K 377 133
                                    

Selamat malam, berjumpa lagi dengan aku, si author yang ilang-ilangan kaya doi kita semua, jiakh. Akhirnya balik lagi. Seneng banget akhirnya semua tanggungan kuliah selesai alias aku udah liburan, yay!

Btw, udah lupa ngga, sih, sama ceritanya? Iya, pasti. Aku aja lupa-lupa inget, haha engga, bercanda. Semoga masih inget, ya. Kalau lupa, aku ingetin, deh. Part 49 kemarin terakhir itu yang Nara punya ketakutan mau jadi Ibu. Udah inget? Oke, sekarang lanjut baca part 50.

Let's go!

-
16.00

Setelah semalam perasaan takutnya diredam oleh Bian, Nara merasa lebih baik, jauh lebih baik. Terlebih saat dia bercerita pada Hanna, katanya juga wajar. Ketakutan menjadi seorang Ibu memang wajar apalagi ini merupakan kali pertama. Bayangan kegagalan sudah pasti ada, namun Hanna menekankan bahwa tidak ada seorang Ibu yang gagal, semua akan menjadi Ibu yang berhasil mendidik putra-putrinya jika memang mau berusaha untuk menjadi yang terbaik.

Sore ini, Nara sudah berkutat di dapur untuk memasak. Sudah berulang kali ditegur oleh Mbok Nah untuk tidak usah membantu, namun Nara tetap kekeh turun tangan. Katanya, daripada berdiam diri memikirkan hal-hal yang tidak-tidak lebih baik memasak.

Nara yang sedang mengaduk sop ayam pun terlonjak karena ponsel yang berada di sampingnya berbunyi. Mas Bian.

"Mbok, ini minta tolong, aku mau angkat telfon dari Mas Bian dulu sebentar," kata Nara yang menyerahkan sendok sayur ke Mbok Nah.

Dengan cepat, Nara pun mengangkat panggilan suara dari suaminya itu.

"Halo, assalamualaikum," terdengar suara Bian di seberang sana.

"Waalaikumsalam, kenapa, Mas? Tumben sore-sore telfon?" tanya Nara sedikit heran.

"Itu, saya mau ngabarin kalau malam ini saya lembur, ya,"

Nara pun tambah mengerutkan keningnya lagi, tidak biasanya Bian memberinya kabar secara mendadak semacam ini. "Lembur? Kok, ngasih tahunya dadakan?" tanya Nara penuh selidik.

"Iya, saya baru dikasih tahu sama Darel kalau client ngubah jadwal juga dadakan. Ya, mau gimana lagi," jawab Bian.

Nara menghela napasnya kasar yang bisa terdengar oleh Bian. Dia hanya sedikit marah karena sore ini sudah memasak makanan kesukaan Bian. Namun, apa boleh buat? Tidak bisa juga, kan, meminta Bian untuk pulang lebih cepat?

"Marah, ya?" tanya Bian langsung peka.

Nara hanya mengangkat kedua bahunya yang padahal Bian tidak bisa melihatnya. "Engga. Ya, udah, semangat kerjanya, jangan pulang malem-malem, ya,"

"Maaf, ya. Iya, saya ngga pulang malem, jam 9 udah sampe rumah,"

"Iya," jawab Nara hanya dengan satu kata. Wajahnya sudah tak berbinar seperti sebelum mengangkat telfon dari suaminya itu.

"Jangan marah. Kalau bisa saya juga maunya pulang cepet," kata Bian. Sudah bisa dipastikan Bian peka akan sikap Nara saat ini walaupun tidak berada di depannya. Dari nada bicara Nara saja sudah dapat disimpulkan jika Nara marah padanya.

"Hmm," Nara hanya berdeham.

"Ngga usah nunggu saya kalau kamu udah ngantuk atau mau dibawain jajan apa?"

Nara memutar bola matanya jengah. Bian kira dia itu Kaila—yang jika marah sedikit disogok menggunakan lollipop akan lupa dengan rasa marahnya itu? Sayangnya bukan.

"Engga perlu. Ya, udah, aku mau lanjut masak," jawab Nara dengan nada datar.

"Jangan marah. Saya janji nanti selesai saya langsung pulang. Jangan cape-cape, ya. I love you,"

Amerta - [The Other Side of Aldebaran & Andin] [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang