12 - Keputusan

1.7K 289 15
                                    

19.30

Rumah Nara

Nugroho dan Kirana sudah pulang dari satu jam yang lalu. Ternyata lebih cepat dari perkiraan. Saat ini Nugroho, Kirana, Nara, dan Ressa sedang makan malam. Nara sudah berkata pada orang tuanya, setelah makan, ada beberapa hal yang ingin Nara utarakan. Setelah makan, mereka berempat memutuskan untuk berpindah tempat ke ruang keluarga.

Nara yang duduk di karpet bulu di bawah, Nugroho dan Kirana di kursi panjang atas, dan Ressa yang merebahkan tubuhnya di samping Nara sambil menonton televisi. "Jadi, ada apa?" Kirana akhirnya buka suara untuk memulai.

"Yah, Ayah tahu bos Nara yang kemarin mengantar Nara pulang?" Nugroho mengangguk. "Bu, Ibu tahu Tante Hanna, beliau katanya temen SMP Ibu." Kirana terlihat mengingat-ngingat, "Oh, iya, Ibu inget. Kenapa?" Tanya Kirana.

"Ternyata Tante Hanna itu mamanya Pak Bian, Bu. Tadi siang Nara ngobrol sama beliau. Putri kecil Pak Bian minta Nara buat jadi bundanya." Nugroho terkejut, Kirana apa lagi. "Nara bingung, Yah. Nara harus gimana. Kayaknya Tante Hanna juga menaruh harapan besar ke Nara, padahal Nara juga ngga tahu mau nerima atau engga. Menurut Ayah sama Ibu, Nara harus gimana?" Jawab Nara.

Nara memang sebegitu bingungnya. Bersama dengan orang asing memang bukan hal yang mudah. Terlebih jika memang pada akhirnya mereka benar berjodoh, akan hidup selamanya. Bukan hanya tentang saling memberikan rasa sayang dan cinta, tapi bagaimana harus menyesuaikan diri dari awal karena sebelumnya diantara Nara dan Bian baik keluarga atau pun orang-orang terdekat memang asing.

Nugroho diam sejenak, lalu mulai berbicara. "Ayah ngga bisa memaksa kamu untuk mengiyakan, Ayah juga ngga bisa membatasi kamu untuk menolak. Tapi, Ayah cuma minta sama kamu untuk memikirkan hal ini dengan baik. Ya, walaupun hal itu belum disampaikan secara serius oleh Nak Bian secara langsung, tapi setidaknya kamu harus jaga-jaga aja."

"Iya, sih, Yah. Emang baru Kaila yang ngomong. Tapi waktu tadi ngobrol sama Tante Hanna, Tante Hanna kaya udah berharap banget." Jawab Nara berterus terang.

"Mba, santai aja ngga papa, ngga usah terlalu dipikirin. Lagian belum lamaran resmi, kan?" Kata Ressa.

Nara menatap ke arah Ressa. "Ya, tapi tetep aja. Kalo misalnya kata-kata Kaila beneran gimana?" Raut wajah Nara meredup. Permintaan Nara benar-benar membuatnya kelimpungan.

Padahal, belum ada tanda-tanda serius dari sang empunya yaitu Bian. Tapi, kenapa Nara sudah gelisah seperti ini?

Nugroho mengangguk. "Kalau seandainya, Nak Bian benar-benar melamar kamu, bagaimana? Ayah sebagai seorang lelaki yang memiliki anak perempuan, pasti akan mengusahakan apapun kemauan putrinya. Ayah yakin, Nak Bian pasti akan melakukan hal yang sama jika memang Nak Bian sebagai ayah yang baik."

Nara terlonjak sedikit kaget. "Ayah." Rengek Nara.

Kirana dan Ressa justru tertawa melihat tingkah Nara. Lucu sekali ketika Nara sedang frustasi begini, terlebih karena masalah lelaki.

"Mba, berarti beliau duda beranak satu?" Tanya Ressa yang ikut mengobrol bersama Nara, Nugroho, dan Kirana. Nara pun mengangguk.

"Nah, itu, Nduk. Bukan ibu sedang menakut-nakuti, coba kamu telisik lebih jauh lagi. Apakah Nak Bian sudah selesai dengan masa lalunya atau belum. Orang yang pernah gagal dalam berumah tangga mungkin akan sedikit banyak belajar dari kesalahannya, tapi salah satu masalah terbesar yang dapat memecah rumah tangganya lagi, ya, tentang masa lalu." Nasihat Kirana pada Nara.

Nara mengangguk mengerti. Memang tidak mudah melangkah bersama seseorang yang pernah gagal di masa lalunya. Mau tidak mau, jika benar Nara yang akan menjadi pendamping hidup untuk Bian kelak, dia yang harus menjaga Bian agar tidak terjun ke dalam lubang masa lalunya lagi.

Amerta - [The Other Side of Aldebaran & Andin] [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang