Rabu, tujuh belas mei tujuh tahun lalu."Jadi, lo ngedeketin gue cuma buat minta nomor hp Senja?" tanya Gendhis melipat tangan kesal.
Cowok itu tertawa canggung, "Iya, soalnya gue suka sama Senja dari lama." jawabnya, "Jadi, lo mau, 'kan, ngasih tahu nomor hp Senja?"
Gendhis menggigit bibir lantas menghembuskan nafasnya kasar, "Nggak."
Cowok tersebut tersentak, terlihat sedikit kesal dengan jawaban Gendhis, "Kenapa?"
"Senja nggak suka cowok kayak lo."
Cowok itu mengernyit meremehkan Gendhis, "Lo kok sok tahu banget, sih? Mentang-mentang lo teman dekatnya Senja jadi lo bisa seenaknya, gitu?"
Gendhis menggeram, kembali mengepalkan tangan. Ia mencoba bersabar, "Lo sama sekali nggak ada usaha untuk ngedeketin Senja. Mau minta nomor Senja aja lo sampai harus manfaatin gue dulu. Lo nggak gentle." gadis yang masih berusia tiga belas tahun itu menatap sinis lawan bicaranya, "Kalau emang lo benar-benar suka sama Senja, harusnya lo langsung ngedeketin dia. Bukannya malah manfaatin orang terdekatnya." sarkas Gendhis.
Cowok itu menatap Gendhis kesal kemudian berbalik meninggalkan gadis itu begitu saja. Gendhis menghela nafas, memejamkan matanya sebentar sambil mengumpat kecil merutuki dirinya sendiri.
"Gendhis."
Gendhis membuka mata, melihat Senja yang sudah berdiri di depannya sambil menggenggam sekotak susu coklat.
"Maaf."
Gendhis mengernyit lalu terkekeh pelan. Gadis itu mendekati Senja, "Nggak usah minta maaf, gue gapapa, Ja." bisiknya pelan, "Gue udah biasa hidup jadi bayangan lo."
Jumat, sembilan september tiga tahun lalu.
"Gue sebel liat si Gendhis. Apa-apaan, Senja kayak dikekang banget sama dia."
"Senja kayak nggak boleh temenan sama orang lain ya, padahal Senja anaknya pintar. Gue pengen banget dekat sama dia."
"Sayang banget si Gendhis nempel mulu sama Senja."
"Jaga omongan lo ya," Gendhis datang tiba-tiba, mendorong bahu salah satu siswi itu ke dinding, "Gue nggak pernah larang Senja temenan sama orang lain."
Siswi itu tersentak kaget kemudian melepaskan tangan Gendhis yang masih memegangi bahunya dengan kasar, "Nggak larang gimana? Buktinya lo nempel sama Senja mulu tiap detik. Kita mau ngedeketin Senja jadi mundur duluan tahu nggak?"
Gendhis menaikkan kedua alisnya, "Kalau mau temenan Senja ya temenan aja. Gue nempel mulu sama Senja karena cowok-cowok disini, tuh, kurang ngajar!" balasnya berteriak, "Masa lo nggak tahu kalau Senja phobia cowok!?"
Senja yang berdiri di belakang Gendhis sedari tadi mengerjap-ngerjap. Ia menarik lengan Gendhis, "Ayo balik ke kelas." ajaknya terdengar dingin.
Gendhis menoleh, "Nanti. Tukang gosip harus di kasih nasihat dulu."
Ketiga siswi itu menggeram tertahan, menatap sinis Gendhis lantas berlalu pergi meninggalkan keduanya sambil mencibir.
Senja menatap Gendhis yang sedang merapihkan seragamnya di depan kaca sembari menggerutu soal ketiga siswi tadi, "Maaf." Senja melontarkan kata maaf tanpa ragu, "Gara-gara gue lo jadi di omongㅡ"
"Nggak usah minta maaf." balas Gendhis cepat, "Gue udah biasa jadi bayangan lo, Senja."
"Berhenti ngomong kayak gitu. Lo teman gue," Senja meremas rok sekolahnya, "Maaf kalau selalu bikin lo merasa jadi bayangan gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Melukis Senja
Fanfiction[ END - LENGKAP ] Senja itu androphobia. Semua cowok di mata Senja itu sama, sama-sama nyeremin. Kecuali sang ayah, kakaknya, Raylan, dan cowok favorit Senja sejak dulu, Rizqy Bintang Atmaja. "Ja, secinta apa, sih, lo sama si Bintang?" Senja meneguk...