Bab 34 - Kevin Meet Parents Kimberly

1.5K 122 1
                                    

"Lo serius mau pergi, Kim?" tanya Yuki sambil membantu memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper.

"Kalo gue ngga pergi, mereka bisa nyusul gue ke sini. Ngga hanya gue yang mati, tapi juga elo. Mereka akan tahu kalo lo ada di sini," ujar Kimberly sambil memoles wajahnya dengan bedak. Yuki bergidik ngeri.

"Jangan deh. Ehmm, lo yakin mau bawa dia?" tanya Yuki sambil memandang lekat ke arah Kimberly. Kimberly menatap Yuki melalui cermin.

"Ini semua tuh gara-gara cowok ember, Christ. Jadi, mereka pengen ketemu sama dia. Kalo ngga, gue bakal dinikahin sama cowok ember itu," ujar Kimberly kesal. Yuki tersenyum miris.

Kasihan Kimberly... Yuki mendesah pelan. Apa yang harus ia lakukan untuk membantu Kimberly? Tidak mungkin ia ikut Kimberly ke Surabaya, bisa-bisa ia tidak kembali lagi ke Jakarta. Yuki menyeret koper Kimberly keluar kamar. Ia memandang ke arah ruang tengah, dimana ada Stefan, Kevin, dan Ali duduk. Yuki pun berjalan ke arah sana, meletakkan kopernya, lalu duduk di sebelah Stefan.

"Lo yakin, Vin, mau pergi?" tanya Stefan. Kevin mengangguk pelan.

"Gue rasa lo ngga harus pergi deh," ujar Ali. Yuki mendelik kesal. Ia memandang Ali tajam.

"Bener, harusnya Kevin ngga pergi. Tapi elo yang harus pergi. Harusnya lo yang ada di sana, bukan Kevin." ujar Yuki kesal.

"Gue... gue ngga bisa pergi. Gimana sama my baby honey Nina. Kalo gue..."

"Apa? Nina? Nina temen gue?" pekik Yuki kaget.

"Nina yang mana lagi," ucap Ali datar.

"Heh, playboy Arab. Lo ngedeketin Nina? Awas ya, kalo lo nyakitin dia. Abis lo sama gue," ucap Yuki sambil melotot garang. Stefan dan Kevin tertawa geli.

"Lo juga, Vin. Ngapain sih pake cium Kimberly segala. Masalahnya jadi rumit sekarang,"

"Ngga ada cara lain, Ki. Cowok itu minta bukti," Yuki mendesah pelan.

"Lo bisa aja peluk dia atau cium dia dipipi. Gue rasa itu cukup. Atau jangan-jangan lo..." Yuki menggantung kalimatnya. Ia menatap Kevin menyelidik.

"Suka ya sama Kim," lanjut Yuki.

Kevin jadi geragapan sendiri. Ia merasa grogi sekarang. Kedua pipinya bersemu merah. Stefan dan Ali saling berpandangan? Apakah Kevin sudah move on sekarang? Dia ngga suka lagi sama Yuki? Dan sekarang, dia menyukai Kimberly? Stefan tersenyum lebar. Sedangkan Ali tersenyum bahagia, sebab ia tidak perlu lagi khawatir kalau Kevin akan terluka karena hubungan Stefan dan Yuki.

"Vin, ayo, kita per..." Kimberly memandang Yuki dan lainnya bingung.

"Ada apa nih? Kok kayaknya tegang," tanya Kimberly.

"Ngga kok, Kevin cuma mau bilang kalo dia su..."

"Lo udah siap kan? Ayo kita berangkat sekarang," sela Kevin cepat. Yuki, Stefan, dan Ali tertawa geli melihat tingkah Kevin.

Kevin menyeret kopernya keluar rumah. Kimberly memeluk Yuki. Ia berpamitan pada Yuki, Stefan, dan Ali. Beberapa menit kemudian, Ali pun berpamitan untuk pulang. Ia berencana akan mengajak Nina kencan. Sekarang tinggal Stefan dan Yuki. Rumah terasa sepi. Stefan tersenyum miring. Ia mendekatkan tubuhnya ke Yuki. Yuki mendelik tajam, Stefan terkekeh pelan. Ia pun merangkul Yuki untuk mendekat padanya.

"Ayo, kita harus ngelakuin sesuatu," ujar Stefan seraya mengajak Yuki masuk ke dalam.

"Sesuatu? Ap...apa maksud lo?" tanya Yuki menjadi gugup. Stefan tersenyum.

"Sesuatu yang seharusnya kita lakukan sebagai suami istri,"

"Heh, su...suami-istri?" Kedua mata Yuki membulat besar.

Hahahaha... gelak tawa Stefan memecah. Hal itu membuat Yuki menjadi kesal. Ia pun menendang kaki Stefan hingga lelaki itu meringis kesakitan. Yuki tertawa geli melihat tingkah Stefan yang mengusap kakinya berulang kali. Stefan berdiri tegak, lalu menatap Yuki tajam. Ia pun merangkul Yuki dengan paksa. Kemudian diseretnya Yuki untuk masuk ke dalam. Stefan membawa Yuki ke kamar, lalu mendudukkan ke atas ranjang.
Glekk… Yuki menelan ludahnya susah payah. Apa yang akan dilakukan Stefan padanya? Sesuatu yang berhubungan dengan suami-istri itu… jangan-jangan… Yuki memandang Stefan ketakutan. Stefan tersenyum miring melihat ketakutan Yuki. Perlahan ia mendekati Yuki, ia mencondongkan tubuhnya, menatap Yuki dengan jarak yang sangat dekat. Mata Yuki tidak berkedip menatap Stefan.

“Tunggu sebentar ya, sayang…” bisik Stefan. Mata Yuki membulat besar.

* * *

Mobil Kevin berhenti di sebuah bakery. Kimberly memandang Kevin bingung. Kenapa ia berhenti di sini? Tanpa bicara, Kevin langsug keluar mobil dan berjalan menuju bakery. Kimberly sengaja ia tinggalkan sendiri di dalam mobil. Sebelum berangkat, Yuki mengiriminya pesan yang mengatakan kalau kedua orangtua Kimberly sangat menyukai Cheese cake. Jadi, kalau Kevin tidak ingin mendapatkan masalah, ia harus memberi Cheese cake pada kedua orangtua Kimberly. Beberapa menit kemudian, Kevin keluar dari bakery sambil menenteng dua bungkusan. Lalu ia meletakkannya ke kursi belakang.

“Lo beli apaan, Vin?” Tanya Kimbery penasaran.

“Senjata rahasia.” jawab Kevin sambil tersenyum kecil.

Kevin pun melajukan mobilnya meninggalkan bakery. Kimberly hanya diam dengan sejuta pertanyaan yang mengitari pikirannya. Bagaimana tidak, akibat Christ yang mengadu pada kedua orangtua Kimberly tentang mereka yang berciuman di tempat umum, Mama Kimberly yang masih ada keturunan ningrat tentu saja terkejut mendengar berita itu. Berita yang disampaikan oleh lelaki yang hampir menjadi menantunya itu. Jelas saja Mama Kimberly menjadi berang dan menyuruh Kimberly pulang ke Surabaya dengan membawa lelaki yang dikenal Christ sebagai pacar Kimberly. Setelah dengan pertimbangan yang matang, akhirnya Kevin mau ikut bersama Kimberly ke Surabaya. Sebab, setelah dipikir-pikir, Kevin juga ada andil dalam masalah ini.

Setengah jam kemudian, mobil Kevin berhenti di depan sebuah rumah yang bisa dikatakan sangat mewah. Dengan pagar besi bergaya Eropa yang ukurannya menjulang tinggi. Kevin mengklakson mobilnya. Tak lama kemudian, pintu pagar terbuka. Kevin pun membawa mobilnya masuk ke dalam. Kimberly menunduk dalam saat melihat keluar mobil. Kevin berdecak pelan saat melihat keluar. Ia tidak menyangka akan seperti ini penyambutannya.

“Lo keturunan ningrat, Kim” Tanya Kevin takjub. Kimberly hanya meringis kecil.

* * *

Stefan berjalan ke arah meja belajar. Ia mengambil pulpen dan beberapa lembar kertas dari atas meja. Lalu ia kembali lagi mendekati Yuki yang masih syok dengan sikap Stefan. Stefan memberikan selembar kertas dan pulpen pada Yuki. Lalu ia duduk di hadapan Yuki sambil bersila. Stefan berdehem kecil.

“Apaan nih?” tanya Yuki bingung.

“Ini kertas dan pulpen,” jawab Stefan datar. Yuki mendengus kesal.

“Iya, gue juga tahu kalo ini kertas dan pulpen. Maksud gue, kertas dan pulpen ini buat apaan?” tanya Yuki gemas. Stefan terkekeh geli.

“Oh… seperti yang udah gue bilang, gue mau kenal lo lebih dekat lagi. Waktu di rumah Oma, gue sama sekali ngga tahu kalo lo alergi sama jamur. Nah, sekarang… gue mau lo tulis apa-apa aja yang lo sukai dan lo ngga suka, lo alergi apa, hobi lo apa, mak…”

“Harus gue tulis semuanya?” potong Yuki.

“Semuanya. Dan gue akan ngelakuin hal yang sama. Ntar kalo udah, kita tukeran, oke?”

Yuki hanya mengangguk pelan. Ia pun langsung menuliskan hal-hal yang ia sukai. Begitu juga dengan Stefan, ia pun menulis hal yang sama. Mata Yuki menerawang memikirkan hal apa yang paling ia sukai. Selama ini ia hampir menyukai semua hal. Ia jadi bingung sendiri harus menuliskan apa saja yang ia suka. Stefan melirik Yuki sekilas. Ia kemudian tersenyum kecil. Ia berharap usahanya untuk mengenal Yuki ini akan berhasil.

Setengah jam kemudian…

Keduanya membaca hasil tulisan masing-masing. Yuki tersenyum puas dengan hasil tulisannya. Stefan mengintip Yuki dari balik kertasnya. Kemudian ia meminta Yuki untuk saling bertukar kertas. Mereka pun saling bertukar dan membaca hasil tulisan satu sama lain. Stefan tersenyum geli saat membaca tulisan yang mengatakan kalau ia menyukai segalanya. Kecuali jamur dan vanila, ia alergi pada keduanya.

Yuki agak terkejut saat mengetahui kalau Stefan memiliki alergi yang sama dengannya, jamur dan vanila. Lalu Yuki tertawa geli saat membaca hal yang paling ditakutkan Stefan. Stefan fobia terhadap ketinggian. Ckck... Yuki berdecak pelan. Ia bertolak belakang dengan dirinya yang senang menaiki bianglala. Dan tulisan di baris terakhir membuat Yuki terdiam sejenak.

'Takut kehilangan Yuki'

Yuki dengan jelas melihat namanya ada di kertas itu. Ia pun meletakkan kertasnya dan memandang Stefan lekat. Stefan yang merasa dipandangi pun memandang ke arah Yuki. Benar saja, Yuki sedang memandangnya tanpa berkedip saat ini. Hal itu membuat Stefan sedikit grogi.

"Ada apa? Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?" tanya Stefan grogi.

"Ada hal yang paling gue suka. Dan ngga gue tulis di sana," ujar Yuki pelan.

"Apa?" tanya Stefan pendek.

"Gue suka masakan lo." jawab Yuki.

"Hanya itu?" tanya Stefan tidak percaya. Yuki menggeleng.

"Gue juga suka tinggal dan hidup bersama lo," ujar Yuki sembari tersenyum.

Stefan tersenyum senang saat mendengar ucapan Yuki. Ia pun melipat kertasnya dan memandang Yuki lekat. Lalu keduanya tertawa geli. Mereka pun berbaring di ranjang sambil memandang langit-langit kamar. Stefan menarik napas pelan.

"Apa yang akan terjadi nanti ya? Apakah kita akan menua bersama?" ujar Stefan. Yuki tersenyum tipis.

"Entahlah. Apapun bisa terjadi. Ehmm... kenapa, Fan?" tanya Yuki pelan.

"Maksud lo?"

"Kenapa lo takut kehilangan gue?" tanya Yuki lagi.

"Oh... itu, waktu itu...lo hampir ninggalin gue. Perasaan itu pun muncul. Rasa takut kehilangan lo. Ehmm... Yuki, bagaimana menurut lo kalo di masa depan kita memiliki anak?" Yuki tertawa kecil. Namun sedetik kemudian ia terdiam.

"Bukankah sebentar lagi kita akan ujian. Kemudian lulus. Lalu lanjut ke perguruan tinggi. Dan itu berarti kita harus..." Yuki menggantung kalimatnya.

"Berakhir." sambung Stefan.

"Iya. Hubungan kita pun akan berakhir." ucap Yuki pelan.

"Tapi, Yuki, setelah gue pikir-pikir soal perjanjian nikah itu, ehmm... gimana kalo kita perpanjang?" ujar Stefan.

"Apa? Perpanjang? Maksud lo?" tanya Yuki bingung. Stefan memiringkan tubuhnya memandang ke arah Yuki.

"Iya, perpanjang. Setelah selesai sekolah lalu bercerai, gue rasa Mama, Papa, dan Oma pasti syok. Jadi, gimana kalo kita perpanjang lagi satu tahun?"

Perpanjang? Satu tahun? Lagi? Benar apa kata Stefan, keluarganya pasti akan terkejut dengan perceraian tiba-tiba. Ditambah lagi saat ini mereka tidak ada masalah apa-apa lagi. Jadi, tidak ada alasan untuk mereka berpisah. Lalu, bagaimana dengan perasaan mereka? Apakah mereka mulai saling menyukai? Atau bahkan mereka sudah saling mencintai.

Yuki menelan ludahnya pelan. Ia memberanikan diri menatap Stefan dalam jarak dekat, hanya beberapa senti hidung mereka akan bersentuhan. Yuki melihat bayangan wajahnya tepat dipupil mata cokelat Stefan. Mata yang indah? Hanya itu. Deg...deg...deg... Yuki menyentuh dadanya. Berdetak kencang. Sekarang ia merasa seperti terserang penyakit jantung.

Berbeda dengan Stefan, saat ini ia merasa waktu disekitarnya berhenti. Ia merasa hidup didunianya sendiri. Dunia yang dimana hanya ada Yuki dan dirinya. Hanya mereka berdua. Lalu, bagaimana dengan jantungnya? Jangan ditanya lagi, jantung seolah sudah ia lepaskan sejak tadi, sejak ia dan Yuki berbaring bersama. Stefan sengaja mengalihkan jantungnya agar ia tidak mendengar degupan kencang dari jantungnya. Yuki berdehem kecil. Mengembalikan Stefan ke dunia nyata.

"Gimana? Lo setuju?" tanya Stefan mengalihkan rasa gugupnya. Yuki tersenyum.

"Oke, gue setuju." ucap Yuki sambil tertawa kecil. Stefan pun tersenyum senang.

A Little Thing Called LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang