Bandara...
Seorang cowok berkacamata hitam berjalan sambil membawa ransel dipunggungnya. Ditangan kanannya ia menenteng jaket tebal berwarna cokelat. Cowok itu tersenyum lebar saat memandang banner 'Welcome to Jakarta'.
"My Yuki, I'm coming..."
Uhuukk... Uhuukkk... Yuki tersedak saat sedang menikmati makan paginya. Stefan buru-buru menuangkan air ke gelas lalu memberikannya pada Yuki. Yuki pun menerima gelas itu lalu meneguk airnya.
"Makanya kalo makan tuh pelan-pelan," omel Stefan sambil mengusap pelan punggung Yuki.
"Kayak ada yang manggil nama gue," gumam Yuki. Kimberly tersenyum kecil.
"Itu tahayul, baby." ucap Kimberly. Yuki hanya mencibir.
Kembali ke bandara...
Cowok berkacamata hitam celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Tak lama kemudian ia tersenyum saat melihat seorang cowok hampir seumurannya, berkulit putih dan memakai kemeja putih yang lengannya digulung hingga setengah lengan tangannya. Mereka pun saling berpelukan saat bertemu.
"Gimana perjalanannya?"
"Damn! Gue kena delay sampe 2 jam. Mana gue harus buru-buru lagi nyampe Bandung." Cowok berkemeja putih itu melirik jam di pergelangan tangannya.
"Lo yakin ngga mau ikut gue?" tanyanya kemudian.
"Gue harus cari my angel dulu, abis itu gue baru nyusul lo."
"Oke, kita pisah disini. Gue tunggu lo di Bandung."
Cowok berkemeja putih itu pun meninggalkan cowok yang berkacamata hitam. Cowok itu naik memberhentikan sebuah taksi. Ia pun menyebutkan sebuah alamat lalu masuk ke dalam taksi.* * *
Yuki membaca novel di ruang tengah. Kimberly tengah berkutat di depan laptop di sebelahnya. Sedangkan Stefan berada di kamar. Kriiinggg... Kriiinggg... Deringan telepon rumah membuyarkan kekhusyukan Yuki membaca. Dengan malas-malasan ia berjalan ke arah meja telepon. Ia pun mengangkat telepon tersebut.
"Halo,"
"Halo, My Yuki..." Kening Yuki mengerut bingung.
"Maaf, ini siapa ya?" tanya Yuki.
"Masa lo lupa sih sama gue, my angel. I'm your man, honey."
Kedua mata Yuki membulat besar. Tiba-tiba tubuhnya membeku. Ia tercekat. Dengan susah payah ia menelan ludahnya. Ia pun memandang ke sekeliling.
"My Yuki, lo masih di situ 'kan?" Yuki tiba-tiba terlihat pucat.
"Gi... Gio..." ucap Yuki gugup.
"Akhirnya lo inget juga sama gue, My Yuki." ucap Gio sambil tertawa senang.
"Da... Dari mana lo tahu gue..." Yuki menelan ludahnya pelan.
"Honey, 'kan udah gue bilang, kemana pun lo pergi, gue pasti tahu. Sekarang gue pengen kita ketemu, gimana kalo..."
"Ngga!" pekik Yuki.
Klik. Yuki langsung menutup telepon tersebut. Ia benar-benar syok sekarang. Wajahnya berkeringat dan terlihat pucat. Perlahan ia berjalan ke arah Kimberly. Yuki masih mematung di tempatnya. Kimberly mendongakkan kepalanya dan memandang Yuki bingung.
"What's wrong, Baby?" tanya Kimberly. Matanya telah kembali tertuju pada laptop.
"He's back."
Suara pelan Yuki terdengar bergetar. Kimberly kembali memandang Yuki, kali ini ia melihat wajah Yuki yang terlihat ketakutan. Perlahan Yuki menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Kimberly pun turut duduk ke sofa. Ia jadi khawatir dengan sikap Yuki sekarang.
"Baby..."
"Dia udah menemukan gue," lirih Yuki.
"Who is he, baby? Tell me now,"
"Gio."
Kimberly terlihat berpikir. Sedetik kemudian matanya membulat besar dan mulutnya ternganga. Namun cepat-cepat ia menutup mulutnya. Ia pun sama syoknya dengan Yuki. Kimberly menepuk pelan lengan Yuki berulang kali. Yuki menoleh dan memandang Kimberly tanpa ekspresi.
"Really? Gio... Cowok psycho yang saraf. Crazy... Ah, cowok yang... Baby, are you serious? Really him, hah?" Yuki mengangguk lemah.
"Iya, beneran dia. Gio Ryscal Zeidner. Cowok psycho yang... Akkhh... Kim, gimana nih?" Yuki mendesah frustasi. Kimberly menepuk pelan bahu Yuki.
"Tenang, 'kan ada adik ipar."
"Justru itu. Gue takut kalo dia tahu tentang Stefan. Bisa-bisa Stefan..." Kimberly menggeleng pelan.
"Lo inget kan sama Robert, cowok itu patah tulang dan harus pake tongkat selamanya gara-gara dia ngeliat gue pergi nonton sama Robert. Inget Harry, kakak kelas gue yang wajah cakepnya cacat gara-gara dia ngasih gue ice cream. Terus, Philip. Lebih parah lagi, dia koma selama sebulan gara-gara nembak gue. Gimana dengan Stefan? Kalo dia tahu Stefan suami gue, oh God, Stefan bisa-bisa end lagi."
"Husss... Jangan sampe. Dia tahu dari mana nomor telepon rumah ini?" Yuki menggeleng cepat.
"Gue ngga tahu. Gio bisa ngelakuin apa aja yang dia mau. Gimana nih, gue jadi takut." ucap Yuki pelan.
Yuki dan Kimberly saling diam. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi Gio. Cowok yang selalu mengejar Yuki dari kecil hingga sekarang. Bahkan ia pun ikut pindah ke Amerika saat Yuki pindah ke sana. Dia orang yang nekat dan tidak mudah menyerah. Yuki merasa beruntung saat ia kembali lagi ke Jakarta, karena ia tidak akan bertemu Gio lagi. Tapi sekarang ia harus ketakutan lagi sebab Gio telah berhasil menemukannya. Untuk saat ini memang nomor telepon rumah Yuki yang ia dapatkan. Tidak menutupi kemungkinan besok dia akan mendapatkan alamat rumah dan menemui Yuki.
Kriiingg... Kriiinggg... Telepon rumah berdering. Yuki dan Kimberly saling berpandangan. Keduanya lalu memandang ke arah telepon bersamaan. Glek!!! Mereka menatap lekat telepon yang masih berdering itu. Keduanya saling mendekat dan berpandangan lagi.
"Jangan-jangan..." Kimberly menggantung kalimatnya.
"Aaakkkhh..." teriak Yuki dan Kimberly bersamaan.
"Jangan di angkat, Kim."
"Tentu. Dan gue yakin itu pasti psycho saraf Gio. Iya kan?" Yuki mengangguk.
Yuki dan Kimberly saling menggenggam tangan erat. Tanpa sadar keluar keringat dingin mengucur di seluruh wajah mereka. Jantung mereka berdegup dengan cepat. Terlihat jelas saat ini mereka tengah ketakutan. Kreekk... Stefan membuka pintu kamar. Ia pun berjalan ke arah telepon yang terus berdering. Sekilas ia melihat Yuki dan Kimberly yang meringkuk di sofa. Stefan menaikkan sebelah alisnya bingung. Yuki dan Kimberly kaget melihat Stefan yang berjalan ke arah telepon. Keduanya pun langsung berdiri.
"Kalian pada ngapain sih, kenapa telepon ngga diangkat, heh?" ujar Stefan hendak menggapai gagang telepon.
"Jangaaaan..." pekik Yuki dan Kimberly bersamaan. Stefan terlonjak kaget. Ia menatap Yuki dan Kimberly sinis.
"Jangan diangkat teleponnya, Fan." ucap Yuki pelan.
"Iya, adik ipar, teleponnya jangan diangkat." ujar Kimberly.
"Kenapa?" Yuki dan Kimberly saling berpandangan.
"Itu... Itu cuma salah sambung. Dari orang ngga penting,"
"Orang gila," tambah Kimberly.
Stefan memandang Yuki dan Kimberly bergantian. Ia pun menggeleng pelan lalu meraih gagang telepon. Mata Yuki dan Kimberly membulat besar. Stefan mengangkat teleponnya dan mengarahkan telepon tersebut ke telinganya. Seketika Yuki dan Kimberly menahan napas. Mereka yakin telepon itu dari Gio. Bagaimana kalau Gio tahu yang mengangkat teleponnya adalah suara cowok. Yuki dan Kimberly tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
"Halo,"
"..."
Stefan terdiam. Ia berbalik dan memandang ke arah Yuki lekat. Lalu ia memandang Kimberly sekilas. Ia mengerutkan dahinya saat melihat Yuki dan Kimberly yang terlihat sangat ketakutan. Ia jadi penasaran apa yang membuat kedua gadis itu ketakutan.
"Iya, aku sama Yuki segera ke sana."
Klik. Tap! Stefan meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Yuki dan Kimberly saling berpandangan. Stefan terlihat baik-baik saja. Itu berarti bukan Gio yang menelepon, lalu siapa? Stefan mendekati keduanya. Ia berdiri tepat dihadapan Yuki.
"Cepat bersiap. Kita harus pergi sekarang. Ada pertemuan keluarga. Mama minta kita untuk pergi. Gue harus ngenalin lo ke semua keluarga," Pfuuhh... Yuki dan Kimberly mendesah lega.
"Lo juga disuruh ikut," ucap Stefan pada Kimberly.
"Gue? Eng... ngga ah, lagian itu 'kan pertemuan keluarga. Mereka pengen tahu siapa istri lo, kalo gue ikut ntar gue dikira istri kedua lo lagi," oceh Kimberly.
"Ih, amit-amit gue punya istri kayak lo. Ayo, Ki. Cepet!" ajak Stefan seraya menarik tangan Yuki.
Kimberly cekikikan melihat tingkah kesal Stefan. Ia pun memandang ke arah telepon. Untung bukan Gio yang menelepon tadi. Ia pun berjalan ke arah laptopnya. Di kamar, Yuki menyiapkan segala sesuatunya. Memasukkan beberapa pasang pakaian ke dalam koper. Rencananya mereka akan menginap di sana. Sebenarnya Yuki tidak ingin ikut, namun Stefan dengan ancaman mogok memasak memaksa Yuki untuk ikut. Lagi-lagi memasak selalu menjadi senjata ampuh Stefan untuk mengalahkan Yuki. Karena mereka akan menghadiri pertemuan keluarga yang sedikit resmi, Stefan mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan kemeja yang berwarna sama. Sedangkan Yuki, memakai gaun selutut berwarna pastel.
"Yakin lo ngga ikut?" tanya Yuki pada Kimberly.
"Yakin."
"Ehmm, ya udah, gue tadi minta Adi untuk jemput lo. Rencananya tadi gue mau pergi bareng Adi, jadi lo aja yang ngegantiin gue, hehe"
"Sipp! Baby, lo hati-hati ya, perasaan gue tiba-tiba ngga enak setelah tahu psycho saraf Gio ada di sini," Yuki tersenyum miris.
"Gue juga takut, Kim. Tapi ya..." Tiitt... Tiittt... Suara klakson dari mobil Stefan. Ia sudah berada didalam mobil sekarang.
"Ya udah deh, gue pergi dulu. Lo hati-hati di rumah ya,"
"Iya, Baby." Kimberly memeluk Yuki.
Yuki pun segera berjalan ke arah mobil. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Mereka pun berangkat. Kimberly melambaikan tangannya pada Yuki. Tak lama kemudian mobil Kevin berhenti tepat di depan Kimberly. Kevin dan Ali keluar dari mobil. Kimberly mengerutkan dahinya. Ali menenteng dua bungkusan plastik besar. Sedangkan Kevin membawa sayuran dan buah yang ia dekap di dadanya
"Kalian..."
"Kita disuruh Stefan buat ngejagain lo. Sebagai gantinya lo masakin kita berdua, hehe..." sela Ali yang disertai tawanya. Kimberly tersenyum senang. Mereka pun masuk ke dalam rumah.* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/33489502-288-k83939.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Thing Called Love
Novela JuvenilSesuatu yang kecil akan bermakna lebih indah saat hati kita dapat memahaminya...