Mobil Gio berhenti di sebuah restaurant. Ia pun mengajak Yuki turun. Ragu-ragu Yuki menuruti keinginan Gio. Ia harus lari dari Gio dan memberitahu Stefan kalau dia harus hati-hati. Gio menggenggam tangan Yuki erat. Mereka pun masuk ke dalam restaurant tersebut. Lalu Gio memesan makanan untuk mereka. Dua porsi nasi goreng seafood dan dua gelas es jeruk. Menu makanan kesukaan Yuki. Gio memang selalu tahu apa yang menjadi kesukaan Yuki. Dalam sekejap Yuki melupakan kalau dirinya sedang diculik. Ia menikmati makannya dengan lahap. Gio hanya tersenyum kecil. Setengah jam kemudian, mereka berdua telah menyelesaikan makannya. Lalu mereka pun kembali ke dalam mobil.
"Abis ini kita mau kemana?" tanya Yuki hati-hati.
"Lo ikutin aja," ucap Gio seraya memacu mobilnya meninggalkan restoran.
Mata Yuki tidak berkedip memandang apa yang ada dihadapannya saat ini. Senyum senang merekah di bibir Yuki. Ia memandang Gio tidak percaya. Gio hanya tersenyum kecil. Gio menggenggam erat tangan Yuki. Lalu keduanya berjalan masuk ke dalam. Taman hiburan. Yuki berlari kecil saat melihat badut-badut yang menari. Ia pun mengajak Gio menari bersama badut-badut itu. Saat bersenang-senang bersama badut, mata Yuki terhenti pada satu objek di hadapannya. Gio melihat itu. Ia kembali menggenggam tangan Yuki.
"Let's go," Gio mengajak Yuki berlari.Yuki dan Gio sudah berada di dalam bianglala raksasa. Yuki teriak girang saat melihat suasana dari atas. Terlihat sangat indah. Sudah satu setengah jam mereka berada di bianglala. Entah sudah berapa kali putaran. Tapi Yuki masih enggan untuk keluar. Sejenak kemudian ia terdiam. Ia teringat bagaimana bahagianya ia saat itu. Saat kedua orangtuanya masih ada. Saat itu Yuki seringkali diajak ke taman hiburan untuk naik bianglala. Yuki menarik napas pelan. Gio mengusap lembut kepala Yuki dan tersenyum kecil. Yuki hanya tersenyum tipis. Lalu keduanya menikmati pemandangan lagi.
Menjelang malam, mereka pulang dari taman hiburan. Gio melaju mobilnya menuju ke suatu tempat. Sebuah salon. Yuki mengernyitkan dahinya bingung. Gio mengambil sesuatu dari kursi belakang. Sebuah kotak berukuran sedang dan paperbag berwarna hitam. Ia pun memberikannya pada Yuki. Yuki menerimanya dengan ragu.
"Ini apaan?" tanya Yuki pelan.
"Bukanya di dalam aja. Ayo, masuk." ajak Gio. Yuki menurut saja mengikuti Gio keluar dari mobil.
Setelah sampai di dalam, Yuki langsung dibawa oleh beberapa orang ke dalam. Gio masuk ke sebuah kamar. Setengah jam kemudian, ia keluar dengan tuxedo hitam di tubuhnya. Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kaki dari belakang. Gio menoleh dan tersenyum. Yuki berjalan dengan anggunnya. Gaun selutut berwarna kuning dengan high heels berwarna silver. Make up yang sederhana namun terlihat sangat elegant. Yuki tersenyum kecil saat melihat Gio mengangkat kedua ibu jarinya.
"Are you ready?" tanya Gio seraya mengulurkan tangannya. Yuki hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
Mobil Gio melesat pergi meninggalkan area salon. Yuki memandang ke luar jendela. Entah kenapa ia merasa tidak ketakutan lagi sekarang. Saat ini pun ia juga tidak merasa seperti diculik. Yuki memandang Gio sekilas. Cowok di sebelahnya ini sebenarnya orang yang baik. Hal itu sebelum ibunya meninggal karena kecelakaan. Gio benar-benar terpukul. Dan ia melampiaskan kesedihannya dengan melakukan hal-hal yang brutal. Bersikap posesif pada Yuki. Menjadikan Yuki satu-satunya gadis yang menjadi hak dan miliknya. Awalnya Yuki mengerti dengan sikap Gio, namun lama-kelamaan Yuki menjadi takut. Sebab Gio menyakiti orang-orang yang ada di sekitar Yuki.
Yuki terpana untuk sesaat. Tubuhnya mematung di tempat ia berdiri. Matanya tidak berkedip. Di atas bukit. Sebuah meja dan dua buah kursi. Lilin putih. Mawar putih. Biola dan grand piano hitam. Yuki menatap Gio lekat. Matanya kini mulai terasa panas. Ada embun di pelupuk matanya. Perlahan Yuki melangkah mendekati Gio.
"Gio, ini..." Yuki menggantung kalimatnya.
"Makan makanan favorite di restoran biasa. Naik bianglala. Pakai gaun dan high heels. Candle light dinner di atas bukit. Diiringi dengan suara biola dan piano. Dan..." Gio melirik jam di pergelangan tangannya.
"Satu...dua...tiga..."
Syuuutt... Duaaarrr... Ribuan warna-warni kembang api menghiasi langit. Yuki tersenyum sambil menangis pelan. Gio mengusap lembut kedua pipi Yuki dan tersenyum.
"Kembang api. Happy birthday, My Yuki." ucap Gio pelan.
Tangis Yuki kini benar-benar pecah. Ia menangis sesunggukan. Ia tidak percaya pada apa yang telah Gio lakukan padanya hari ini. Semua hal yang dilakukannya tadi adalah rencana perayaan ulangtahun dirinya. Ia pernah mengatakan hal itu pada Gio beberapa tahun lalu. Ia tidak menyangka Gio masih mengingatnya. Gio memeluk Yuki erat untuk menenangkan Yuki. Suasana haru itu diiringi dengan suara dari piano dan biola yang mendayu pelan. Dengan langit malam yang penuh warna-warni kembang api.
"Gue hampir ngga bisa ngewujudin ini semua. Tapi, tiba-tiba muncul ide gila penculikan itu. Karena kalo suami lo ikut, ini semua akan sia-sia." ujar Gio sambil terkekeh pelan.
"Bodoh," gumam Yuki.
"Gue yakin suami lo itu pasti kayak orang gila sekarang," ucap Gio geli. Yuki melepaskan pelukannya. Ia melihat jam di pergelangan tangan Gio. Pukul 12 lewat.
"Kita harus pulang sekarang. Karena kalo ngga, gue yang akan gila di sini sama lo." ucap Yuki sambil tertawa kecil.
"Gio, makasih ya." ucap Yuki pelan.
"Bukankah gue ini bener-bener romantis?" tanya Gio. Yuki meninju pelan perut Gio.
"Lo keliatan keren," puji Yuki.
"Kenapa lo baru nyadar kalo gue ini keren," Yuki tertawa geli mendengar pujian Gio pada dirinya sendiri.
Di rumah, Stefan berjalan mondar-mandir frustasi. Ia terlihat sangat kusut. Kimberly tertidur di bahu Kevin. Ali dan Max memandang Stefan geli. Hampir 3 jam lebih Stefan berjalan mondar-mandir tidak jelas seperti setrikaan. Kevin memandang wajah Kimberly yang terlihat sangat lelah. Tak lama kemudian, mobil Gio memasuki halaman rumah Stefan. Semua mata memandang ke arah mobil itu. Kedua tangan Stefan mengepal keras. Gio keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untuk Yuki. Stefan berjalan dengan cepat mendekati Gio dan Yuki. Dalam hitungan detik, sebuah pukulan keras mendarat sempurna dipipi kiri Gio.
"Stefan, lo apa-apaan sih?" tanya Yuki dengan suara meninggi. Stefan memandang Yuki bingung.
"Si pengganggu ini udah culik lo dan lo malah marah sama gue?" ucap Stefan.
Yuki menatap Stefan tajam. Kevin, Kimberly, Ali, dan Max mendekat. Stefan hendak memukul Gio lagi. Namun, Yuki berhenti tepat di hadapan Gio. Melindungi Gio dari pukulan Stefan. Untung Max dengan cepat menahan tangan Stefan. Kalau tidak, pukulan itu pasti akan mendarat indah di wajah Yuki.
"Jangan bertindak bodoh, kalo lo ngga tahu apa-apa. Gio, makasih ya." ujar Yuki seraya berjalan pergi.
"Yuki," panggil Stefan seraya mencekal lengan Yuki.
"Lo tahu, gue hampir laporin si pengganggu itu ke polisi." Mata Yuki menyipit tajam.
"Ada apa sama lo?" tanya Yuki dingin.
"Ada apa sama gue? Gue khawatir sama lo," ucap Stefan keras. Mata Yuki menatap Stefan lekat.
"Jangan coba urusin hidup gue, karena lo ngga tahu apa-apa tentang gue." ucap Yuki tajam.
"Apa?" lirih Stefan. Perlahan ia melepaskan cekalan tangannya di lengan Yuki.
Tidak hanya Stefan yang terkejut mendengar ucapan Yuki, tapi semua orang yang ada di sana. Mereka menatap Yuki tidak percaya. Yuki berjalan pelan meninggalkan Stefan dan lainnya masuk ke dalam. Kimberly yang melihat itu langsung mengejar Yuki ke dalam. Stefan masih membeku di tempatnya. Pandangannya mengabur. Sebab air mata sudah membasahi kedua matanya. Ali dan Kevin berjalan mendekat. Ali merangkul Stefan untuk menenangkannya. Kedua geraham Stefan mengatup keras. Kedua tangannya mengepal keras. Ia berbalik dan menatap Gio tajam.
"Apa yang udah lo lakuin sama Yuki, hah?" tanya Stefan dengan suara meninggi. Gio hanya tersenyum miring.
"Gue hanya ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin. Udah gue bilang, lo emang suaminya tapi lo ngga tahu apa-apa tentang dia." ucap Gio sambil tersenyum geli.
"Elo..." geram Stefan. Ia hendak menyerang Gio lagi. Namun dengan cepat Ali dan Kevin menahannya.
"Gio, sebaiknya lo pulang sekarang." ujar Max. Gio pun segera masuk ke dalam mobil dan melesat pergi.
"Kenapa lo suruh dia pergi, Max!" bentak Stefan.
"Udah gue duga. Lo beneran ngga tahu apa-apa." Max mendesah kesal. Ia menarik napasnya pelan.
"Saran gue, sebaiknya lo masuk dan minta maaf sama istri lo. Udah, gue pulang dulu." ucap Max seraya pergi meninggalkan Stefan yang masih menahan emosinya.
"Fan, elo..." Ali menggantung kalimatnya.
"Apa yang ngga gue tahu, hah?" tanya Stefan pelan.
"Jadi lo ngga tahu kalo... Ah, udahlah. Max bener, lo harus minta maaf sama Yuki." ujar Kevin.
"Kenapa gue harus minta maaf? Dia yang pergi dan marah-marah sama gue. Harusnya dia yang minta maaf sama gue karena udah bikin khawatir," omel Stefan. Ali menepuk bahu Stefan pelan.
"Lo yang salah, Fan. Lo harus minta maaf," ucap Ali.
"Ya udah kalo gitu, kita pulang dulu." ujar Ali.
Kevin dan Ali pun pergi meninggalkan Stefan yang masih mematung di tempatnya. Ia masih merasa kesal. Apa yang ia tidak tahu? Di dalam rumah, Kimberly mendekati Yuki yang tengah membersihkan make up-nya. Kimberly duduk di atas ranjang Yuki dan memandangi Yuki lekat. Yuki melihat Kimberly dari pantulan cermin. Beberapa menit kemudian, Yuki sudah selesai. Ia pun mendekati Kimberly.
"Lo baik-baik aja kan, baby?" tanya Kimberly. Yuki tersenyum dan mengangguk pelan.
"Gio..."
"Dia ngga nyakitin gue, Kim."
"Baby, kita tahu Gio itu seperti apa. Kita semua khawatir sama lo. Dan adik ipar..."
"Gio hanya ngewujudin hal yang udah gue lupain." sela Yuki dengan suara bergetar. Kimberly memandang Yuki lekat.
"Dia cuma nepatin janjinya sama gue. Dia ngga nyakitin gue, Kim. Dia bikin gue bahagia hari ini. Dia..." Yuki menangis. Kimberly langsung memeluk Yuki.
"Baby..."
"Dia selalu jadi orang pertama yang ngucapin happy birthday ke gue. Dan hari ini pun, dia ngelakuin hal yang sama."
"Tapi, adik ipar bener-bener khawatir sama lo, baby."
"Dia sering nyakitin gue, Kim. Gue udah capek," lirih Yuki.
"Baby, buka mata lo. Lihat dia baik-baik. Dia hampir kayak orang gila tadi nyariin lo." jelas Kimberly. Yuki terdiam. Ia menyeka perlahan air matanya.
"Baby, gue harap lo bisa lihat ketulusan adik ipar." ujar Kimberly pelan.
Yuki hanya memandang Kimberly lekat. Ketulusan? Ia tidak yakin. Selama ini ia pikir semuanya berjalan begitu saja. Sesuai dengan perjanjian yang sudah mereka sepakati. Just married. One year. Setelah itu mereka berpisah. Lalu, dimana letak ketulusannya? Kimberly meninggalkan Yuki sendiri. Setelah lama berdiam diri, Yuki memutuskan untuk pergi tidur. Tak berapa lama kemudian, Stefan masuk ke kamar. Ia melihat Yuki sudah tertidur. Perlahan Stefan naik ke tempat tidur. Lalu ia mendekati Yuki. Cup... Stefan mengecup lembut dahi Yuki.
"Maaf..." lirih Stefan.
Stefan pun merebahkan tubuhnya di sebelah Yuki. Sedetik kemudian, Yuki membuka kedua matanya perlahan. Ternyata ia belum tidur. Posisi Yuki yang membelakangi Stefan membuat cowok itu tidak tahu kalau ia belum tidur. Yuki menyentuh dadanya. Jantungnya berdebar-debar. Ia termenung. Apa yang dilakukan Stefan tadi? Mencium dahinya? Apa maksudnya? Yuki mengernyitkan dahinya bingung. Dan kenapa jantungnya berdebar-debar saat Stefan mendekat dan menciumnya? Apakah dirinya...mulai...
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Thing Called Love
Novela JuvenilSesuatu yang kecil akan bermakna lebih indah saat hati kita dapat memahaminya...