Bab 27 - Painful Reality

1.6K 143 2
                                    

Stefan duduk di atas rerumputan. Dengan menengadah memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Hanya di sini ia dapat melihat banyak bintang. Karena di Jakarta sudah banyak cahaya yang menghalangi cahaya bintang. Yuki berjalan mendekati Stefan sambil membawa dua gelas susu cokelat. Stefan sedikit terkejut dengan kedatangan Yuki. Sebab ia pikir Yuki sudah tidur.

"Makasih ya," ucap Stefan seraya meneguk susu cokelatnya.

Yuki tersenyum. Ia menarik napas panjang. Udara malam yang segar. Namun hawanya terasa sangat dingin. Untung ia memakai sweater. Jadi ia tidak terlalu merasa kedinginan. Stefan menoleh sekilas lalu tersenyum kecil. Stefan memegang erat gelas susu cokelatnya yang terasa hangat. Ia pun meletakkan kedua telapak tangannya ke kedua pipi Yuki. Mata Yuki membulat besar. Kaget. Stefan tersenyum kecil.

"Hangat 'kan?" ucap Stefan.

"Hmm..." gumam Yuki pelan.

"Eng... Fan, ada yang pengen gue tanyain sama lo," ucap Yuki pelan.

"Apa?" tanya Stefan seraya menarik tangannya.

"Ehmm... Bener ngga sih, seharusnya gue nikah sama Max, bukan lo?" ujar Yuki pelan dan hati-hati.

Seketika raut wajah Stefan berubah. Ia pun meneguk pelan susu cokelatnya. Ia menarik napas panjang. Lalu menghembuskan perlahan. Ia menoleh ke arah Yuki dan menatapnya lekat.

"Lo tahu dari mana soal itu?" tanya Stefan dingin.

"Gue ngga sengaja denger pembicaraan Oma dan Max tadi siang." jawab Yuki.

Stefan mengalihkan wajahnya. Memandang lurus ke depan. Memandang pepohonan yang di hiasi lampu berwarna-warni. Yuki memandang Stefan lekat. Lama ia menunggu jawaban dari Stefan. Namun sedetik kemudian ia mulai berbicara.

"Iya, itu bener." Yuki tersentak.

"Tapi Max menolak dan kabur ke Amerika. Makanya gue waktu juga ikutan kabur, tapi yaa... keburu ditemuin sama lo." Stefan terkekeh pelan. Yuki masih syok mendengar kenyataan itu dari Stefan.

"Max itu ngga suka terikat. Dia suka kebebasan. Dia juga pintar. SMP dan SMA dia tempuh dengan aselerasi. S1-nya cuma 3 tahun. Dia juga pembisnis. Dia cucu kesayangan Oma. Selalu jadi kebanggaan Oma." Stefan terkekeh pelan.

"Sempurna banget kan dia," Yuki mengangguk cepat.

"He-eh, udah pinter ganteng pula, gue ngga nyangka dia hampir aja jadi suami gue," ucap Yuki tanpa menyadari tatapan tajam dari Stefan.

"Jadi lo nyesel nikah sama gue," ketus Stefan.

"Bukan kayak gitu maksud gue," bantah Yuki. Stefan mengalihkan pandangannya.

Bodoh!!! Rutuk batin Yuki. Ia menepuk dahinya pelan berulang kali. Kenapa juga ia bisa keceplosan memuji Max yang kenyataan benar-benar terlihat sempurna itu. Sebagai cewek yang normal, cewek yang mengidamkan sosok cowok tampan nan pintar, tidak salahnya kan Yuki memuji Max. Tapi tidak harus dihadapan suami kan?

"Seandainya waktu itu lo disuruh milih, antara gue atau Max. Mana yang akan lo pilih, heh?" tanya Stefan sambil menatap Yuki dalam.

"Gue akan pilih lo," jawab Yuki.

"Apa?" Stefan tercekat.

"Meskipun waktu itu gue benci banget sama lo karena kita musuhan, tapi gue akan tetap pilih lo." jelas Yuki.

Stefan mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Yuki akan memilihnya dibanding Max. Stefan menyipitkan matanya, mencari kepastian jawaban Yuki. Ia menatap Yuki lebih dalam lagi. Hal itu membuat jantung Yuki berdebar tidak karuan.

"Kenapa?" tanya Stefan pelan. Yuki menggeleng pelan.

"Gue ngga tahu," jawab Yuki pelan.

Stefan tersenyum kecil. Ia kemudian meneguk habis susu cokelatnya. Lalu meletakkan gelas kosong di sampingnya. Ia pun kemudian merebahkan diri di atas tanah berumput itu. Yuki memandang Stefan bingung. Stefan merentangkan tangan kirinya.

"Gimana kalo malam ini kita tidur di sini," ucap Stefan sambil menepuk tanah di sebelah kirinya.

"Tidur di sini? Di luar sini?" ucap Yuki tak percaya.

"Iya, kapan lagi coba kita bisa nikmatin malam indah kayak gini. Langit yang penuh bintang. Di Jakarta ngga ada yang kayak ginian," jelas Stefan.

Yuki tersenyum kecil. Ia pun meneguk habis susu cokelatnya. Lalu berbaring di sebelah Stefan. Ia meletakkan kepalanya ke atas lengan Stefan. Keduanya memandang langit. Stefan menarik tubuh Yuki lebih mendekat padanya. Kini mereka tengah memandangi jutaan bintang yang menghampar di langit gelap. Yuki teringat dengan ucapan Stefan tadi. Tentang Max yang selalu menjadi kebanggaan Oma. Ia tidak ingin kedua kakak beradik itu saling membenci.

"Stefan," panggil Yuki pelan.

"Hmm..."

"Lo ngga boleh benci ya sama Oma ataupun Max." Stefan diam. Ia menarik napas pelan.

"Gue ngga pernah benci sama mereka. Cuma gue ngga tahu gimana caranya supaya Oma menyadari kehadiran gue," lirih Stefan.

"Oma sayang sama lo. Cuma cara nunjukin kasih sayangnya aja yang beda. Ngga kayak Papa sama Mama." Stefan hanya tersenyum kecil.

"Indah banget," ucap Yuki.

"Iya." ujar Stefan.

Keduanya menutup mata. Menikmati hembusan angin yang menerpa kulit wajah mereka. Membiarkan angin malam yang dingin menelusup menyentuh kulit mereka. Yuki dan Stefan tidak menyangka akan berada di situasi seperti ini.

Aku punya harapan, suatu hari nanti akan berada di bawah langit luas yang penuh bintang bersama orang yang aku cintai. Dan sekarang itu terjadi. Namun aku tidak tahu seseorang yang ada di sampingku ini, apakah dia telah menjadi orang aku cintai... batin Yuki.

Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan melepaskan dia yang memilihku. Dia telah memilihku. Maka aku tidak akan melepaskannya. Sekarang atau pun nanti. Tidak akan pernah... batin Stefan.

Stefan mengintip Yuki sekilas. Sepertinya gadis itu sudah tertidur. Perlahan ia mengecup puncak kepala Yuki. Tubuh Yuki menggeliat pelan. Sepertinya ia kedinginan. Stefan menarik tubuh Yuki untuk lebih mendekat. Ia pun merapatkan tubuhnya ke Yuki. Tanpa mereka sadari, ada tiga orang yang sedang memperhatikan mereka. Menyaksikan adegan romantis pasangan muda itu. Regina, Indra, dan Max saling memandang satu sama lain. Lalu ketiganya tersenyum.

"Max, tolong ambilin selimut buat mereka ya," perintah Regina.

"Iya, Ma." Max pun berjalan masuk ke dalam rumah.

"Kita tidak pernah tahu kalau selama ini hati anak kita terluka, Ma." ucap Indra.

"Iya, Pa. Tapi sekarang, sepertinya dia sudah menemukan obat untuk menyembuhkan lukanya itu." ujar Regina. Indra hanya mengangguk pelan.

A Little Thing Called LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang