Kepala Yuki mendongak ke atas. Ia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Banyak orang-orang yang berlalu larang. Di hadapannya ada sebuah gedung bertingkat. Sebuah apartement yang menjadi tempat tinggal Stefan. Yuki melirik kertas di tangannya. Benar. Alamatnya sudah benar. Yuki menyeret kopernya menuju apartement itu. Namun, tiba-tiba ada yang menabraknya hingga koper yang dibawanya terlepas.
"I'm sorry," ucap seorang lelaki. Yuki menyipitkan matanya. Lelaki itu terlihat seperti orang Indonesia.
"Ngga pa-pa," ucap Yuki ramah. Lelaki itu sempat kaget, namun ia tersenyum dan mengangguk kecil. Di luar dugaan, lelaki itu tiba-tiba mengambil tas tangan Yuki.
"Hei!!!" teriak Yuki.
Lelaki itu berlari hingga membuat Yuki harus terpaksa mengejarnya. Napas Yuki terengah-engah. Ia memandang ke sekitar. Sial!!! Ia kehilangan lelaki itu. Yuki mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana ini? Bagaimana ia bisa menghubungi mertua dan teman-temannya. Tanpa terasa Yuki meneteskan air mata. Ia tidak tahu akan menerima penyambutan seperti ini. Ia tidak tahu harus kemana. Terpaksa ia harus pergi ke apartement Stefan. Karena itu adalah satu-satunya tempat yang ia tahu.
Yuki berulangkali menekan bel apartement Stefan. Tapi, tidak ada jawaban. Sepertinya Stefan tidak ada di dalam. Ia pun berdiri di depan pintu. Hampir setengah jam ia berdiri. Kakinya sudah terasa pegal. Ia pun memilih duduk sambil menyandarkan tubuhnya ke pintu. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Harus berapa lagi ia menunggu. Udara luar semakin dingin. Yuki menyembunyikan kepalanya di antara lutut yang ia tekuk. Ia pun tertidur.
Ting!!! Pintu lift terbuka. Stefan keluar dari lift sambil merapikan jaketnya. Ia menenteng sebuah kantong plastik ditangan kirinya. Kedua mata Stefan menyipit tajam saat melihat seseorang tengah duduk di depan pintu apartementnya. Ia mempercepat langkahnya untuk mendekati orang itu. Langkah Stefan terhenti saat menyadari sesuatu. Orang itu...
"Yuki," panggil Stefan. Yuki mendongakkan kepalanya perlahan. Ia pun tersenyum kecil.
"Hai," lirih Yuki sambil berusaha berdiri dari duduknya.
"Ngapain lo di sini?" tanya Stefan kaget.
"Bukain pintu dong, gue kedinginan nih." Yuki menggigil kecil.
Stefan bergegas membuka pintu apartment-nya. Yuki pun langsung menghambur masuk. Ia segera duduk di sofa sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya. Stefan menatap Yuki tajam. Ia pun mengambil ponsel dari sakunya. Lalu menekan beberapa digit angka.
"Kenapa dia ke sini?" tanya Stefan garang.
"Yuki udah sampai? Dia baik-baik aja 'kan?"
"Kenapa dia ke sini?" tanya Stefan lagi. Yuki mendekati Stefan. Ia menatap Stefan lekat.
"Dia udah nyampe. Kayaknya dia baik-baik aja. Udah ya," Klik. Stefan mengakihiri pembicaraannya di telepon.
"Gue ke sini karena gue..." Yuki menggantung kalimatnya. Ia menggigit bibir bawanhya. Haruskah ia jujur kalau kedatangannya ke sini karena ia sangat merindukan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Tapi, gengsi. Itu akan menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang perempuan. Yuki menghela napas.
"Gue..."
"Gue akan beliin lo tiket untuk penerbangan hari ini. Dan gue mau lo pulang sekarang ke Jakarta," ujar Stefan sambil menekan beberapa angka di ponselnya.
"Ap—apa?" pekik Yuki kaget.
"Lo mau gue pulang sekarang?" tanya Yuki tak percaya.
"Iya, lagian lo ngapain sih ke sini, gue 'kan bentar lagi pulang ke Jakarta."
![](https://img.wattpad.com/cover/33489502-288-k83939.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Thing Called Love
Teen FictionSesuatu yang kecil akan bermakna lebih indah saat hati kita dapat memahaminya...