Sesaat, ada seseorang yang pernah jadi penopang untuk dirimu yang sedang tumbang. Sesaat, ada rumah yang mengenalkanmu kata pulang.
Dan setelah sesaat, semuanya lenyap seolah sebelumnya kau hanya tersesat.
•••
APA yang seharusnya diterima oleh seorang pembunuh? Hukuman mati.
Air mata yang sudah mengering di sudut rupanya, wajah pias ayahnya dan isakan tangis Ibunya di sampingnya saat itu tak ubahnya membuat hatinya panas. Ia marah, kecewa, hatinya amat sangat terluka tapi tak tahu harus menyalahkan apa dan meminta pertanggung-jawaban siapa. Semua terjadi begitu saja.
Sejak awal, Karin menyadari bahwa keluarganya bukanlah keluarga sempurna. Orang tuanya tak seharmonis orang tua pada umumnya, tapi setidaknya masih ada persaudaraan yang ia miliki dan bisa ia genggam.
Seseorang yang selalu berdiri di depannya saat amukan ayahnya menggelegar seisi ruangan. Seseorang yang pernah berkata pada ibunya, "Jangan menuntut apa-apa dari Karin, Bu. Biarkan dia memilih apa yang dia suka. Untuk belajar dan mengikuti ambisi Ibu biar jadi tugas aku."
Karin pernah merasa tak apa-apa jika seluruh dunia mengabaikannya. Tak apa-apa jika ia kehilangan yang lainnya asalkan saudaranya satu-satunya masih berdiri di sisinya.
Lalu, bagaimana jika satu-satunya yang menjadi tempatnya pulang, kini telah berpulang?
Dan di antara kerumunan manusia yang satu persatu pulang dari rumah duka, ada satu yang menarik perhatiannya. Selama belasan tahun hidupnya, saat itulah titik di mana ia sadar bahwa usia menjadi dewasa telah menyentuhnya. Saat di mana ia mengerti rasa marah yang membuncah dalam dada. Sosok perempuan yang dilihatnya itu berdiri tegap di depan bingkai foto dengan rangkaian bunga milik saudaranya. Tanpa gemetar dan tanpa sisa-sisa genangan air mata yang sempat singgah di sana. Dan meski hanya sekelebat, dapat ia lihat sebuah senyuman tipis menyeringai.
"Pembunuh!"
Di situ Karin bangkit, mendorong sang tersangka dengan keras sampai ia jatuh terjerembab. "Pembunuh lo! DASAR PEMBUNUH!"
Perempuan itu awalnya terkejut tapi saat Karin berteriak ia pun terpaku. "Lo sadar gak kesalahan apa yang udah lo perbuat, hah?!" jeritnya dengan bersimbah air mata. Padahal Karin yakin sudah menguras habis air matanya namun kristal bening itu masih bisa keluar juga.
"Kalo sejak awal lo ngasi tau Kiran ada di mana, dia masih baik-baik aja. Dengan teganya lo bohong sama gue kalo Karin aman sama lo dan dengan bodohnya gue percaya. Padahal lo teman terdekatnya 'kan?" Karin meraung-raung, ia telah lupa bahwa masih tersisa beberapa pelayat di rumahnya.
"Lo harusnya jujur soal keberadaan Kiran. Lo punya hak untuk itu, lo berhak memilih tapi lo gak memilih apapun. Pengecut!"
Dan dapat Karin lihat kalau bibir lawannya bergetar. Karin merasa menang, ia semakin tertantang, semakin ingin menjadi-jadi. Dengan sisa tenaga yang masih ada, sekonyong-konyong ia mendekati sebuah vas dan mendorongnya hingga jatuh dan pecah di lantai. Karin tahu jika ia sudah gila, tapi ia juga tak tahu bagaimana cara meredam lahar panas dalam dadanya.
Diambilnya bagian pecahan yang ujungnya paling runcing dan tajam. Saat Karin hampir melemparnya, tangannya ditahan oleh ayahnya. "Stop, Karin! Kamu jangan keterlaluan."
Bagi Dimas, kemarahan Karin adalah hal yang wajar tapi tindakan seperti ini tak seharusnya dilanjutkan. Laki-laki yang juga masih berduka itu memandangi mantan istrinya yang masih menangis sesegukan tak tahu bagaimana caranya mendekati putrinya sendiri. Dalam sekali lihat, Dimas sadar seberapa hancur keluarganya dalam bingkai orang lain.
"Gadis, pergi dari sini. Saya sudah kehilangan satu putri saya, tidak akan saya biarkan kalau satu putri saya meninggalkan saya dengan mendekam di penjara."
"Pergi!"
Tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya. Apakah ia terluka, apakah ia merasa tersika, atau sebesar apa ia membenci dirinya sendiri. Dan perempuan yang dipanggil Gadis itu pun pergi, tak kembali lagi.
•••
Sudah seminggu sejak Louis dan Gadis bertengkar dan saling adu mulut di koridor sepulang sekolah. Entah bagaimana hubungan keduanya yang kini retak terlihat dengan jelas. Gadis yang biasanya selalu menempeli Louis kini memilih diam di barisan kursi paling belakang.
Lilis tak pernah absen untuk bertanya, "Lo gak papa?" saat ada kesempatan, tapi Gadis selalu memilih diam.
Gadis yang mendapat nilai enam puluh lima di try out Bahasa Indonesia, atau Gadis yang mendapat nilai lima puluh di ulangan harian matematika, tentu seperti puzzle yang berbeda irisan. Tidak cocok.
Louis pun juga tak kalah perubahannya. Walaupun sering malas-malasan di kelas, ia tak pernah absen satupun mata pelajaran. Selama seminggu ini, Louis akan nongkrong di UKS atau tidur di bawah meja lesehan perpustakaan. Kembali ke kelas sesekali dan pulang tepat waktu saat bel berbunyi.
Para murid, khususnya yang menyaksikan saat di mana Louis ditolak mentah-mentah di depan umum mulai berasumsi. Tapi semua asumsi, yang paling mendekati adalah asumsi yang mengatakan kalau keduanya memutuskan untuk sebisa mungkin menghindari pertemuan.
Tapi takdir Tuhan tetaplah takdir. Ada saat-saat tertentu, di mana keduanya saling berpapasan lalu saling mengabaikan. Louis sendiri menyesalkan satu hal; keduanya sekelas. Sebuah petaka yang terjadi saat dua orang ingin saling melupakan.
Soal Gadis, ia tampak baik-baik saja, walaupun setiap mereka bertemu, diam-diam Louis mengira-ngira berapa berat badan Gadis turun kali ini, berapa lama ia tidur tadi malam dan apakah perempuan itu sudah makan pagi ini?
Louis menghela napas ketika berpapasan kembali di jam istirahat saat Louis ingin kembali ke kelas dan Gadis yang ingin pergi entah ke mana. Ada sesuatu dalam diri Louis yang bergemuruh, membuka kembali luka yang sama sekali belum mengering. Rasa sesak dari kecewa itu masih terasa jelas. Ia ingin memeluk, menyeretnya menuju motor, dan menghabiskan sisa hari berdua meski dengan bertengkar.
"Louis, kebetulan banget ketemu lo." Sebuah suara meninterupsi Louis dari lamunannya, ada Karin yang tersenyum manis di sampingnya. "Ini gue udah fotocopy catatan gue supaya lo gak ketinggalan pelajaran. Untung hari ini gak ada ulangan harian."
"Hm." Louis menerima beberapa lembar kertas dari Karin. Sampai hari ini ia masih waspada dan mengamati setiap tindakannya. Louis pun membalas senyum Karin sebelum akhirnya terpaku karena tanpa sengaja matanya bertabrakan lagi dengan Gadis, tapi Gadis langsung mengalihkan pandangannya, membuat Louis menghela napasnya sekali lagi. Berusaha menghilangkan sesak.
Louis masuk ke dalam kelas diikuti Karin yang mengekor di belakangnya. Saat giliran Karin dan Gadis berpapasan, ia menepuk pundak Gadis lalu mencengkeramnya kian keras sambil menekankan dua kalimat, "Hukuman yang pantas bagi seorang pembunuh bukan mati, tapi divonis seumur hidup."
Seketika tubuhnya mematung dan tangannya berkeringat dingin. Melihat itu Karin merasa puas, ia menyeringai karena senang. Jangan menyalahkan dirinya.
Pada dasarnya tidak ada orang jahat. Semua orang baik, yang jahat itu waktu dan keadaan yang memaksa seseorang untuk menyakiti orang lain.
Dan Karina Amelia, pada akhirnya menjadi salah satu dari sekian banyak orang tersebut.
=====
.
.
.A/n:
About together sudah hampir sampai di penghujung cerita. Atas nama Gadis aku ingin menyampaikan hal yang sama berkali-kali.
Ambil yang baik-baik dari sini dan buang yang buruknya.
Selalu berpikir positif dan sesekali cobalah untuk melihat orang lain dari kaca mata yang berbeda. Karena masa lalu tiap orang beda-beda, pun dengan ketahanan hatinya.
Semangat dan selalu menjadi kuat!
.
.
.Lots of love,
Gadis
KAMU SEDANG MEMBACA
About Together
Teen FictionAda banyak cara untuk bersama. Sebagian akan mengejar dan mengatakan secara lantang. Pada sebagian lainnya, berupa amarah dan cemburu yang disembunyikan. Ada yang mengekang ada pula yang masih gamang. Kita telah menemani satu sama lain, menutupi ma...