20 | Sejauh Jarak Pluto

67 26 0
                                    

Menyenangkan saat dipedulikan.

Tapi, jadi menyakitkan saat yang dipedulikan, justru meninggalkan.

...

TERHITUNG sudah tiga hari sejak kejadian hari itu. Perkataan yang terlontar di waktu yang tidak tepat. Bodoh.

Waktu itu, Lilis meringis di tempat duduknya. "Lo sampe kapan mau duduk terus. Come on, ke kantin, yuk!" Gadis menggeleng dan Lilis semakin gemas. Dengan kasar dia duduk kembali.

"Ya udah, ayo cerita! Lo ada masalah apa, sih sebenarnya? Sama Louis?"

Gadis menghembuskan napas berat. "Bukan, tapi lo nggak salah juga, sih." Matanya menerawang ke jendela di sampingnya. Saat ini, tempat duduknya dengan Lilis tertukar.

"Terus?"

"Rere a.k.a temen gue yang dari Jakarta itu marah sama gue?"

"Masalahnya sama Louis?"

"Masalahnya karena Louis."

"Explisit more, please."

"Okey, Fine. Jadi, pekan kemarin Rere ke rumah. Dia mau gue quality time sama dia dan kita juga udah berencana mau nonton bioskop bareng." Gadis menarik napas sebentar, lalu menghadap Lilis. "Tapi, saat gue tinggal ganti baju dan berangkat sama Rere. Gue dapet telpon dari rumah sakit kalo Louis kecelakaan. Syok dong, gue."

Lilis mengelus dagunya. "Intinya, Rere marah karena lo lebih mentingin Louis?"

"Iya, duh," keluhnya dengan memijat pelipis. "Gue nggak ngerti, kapan Rere dewasa?"

Lilis mengerti. Rere hanya cemburu teman yang biasanya selalu bergantung padanya mendadak memerdulikan orang lain. Rere pasti kaget, tapi Gadis berhak punya teman atau laki-laki yang dia suka, bukan? Tapi dari cerita Gadis, Lilis dapat mengerti kalau di antara mereka hanya ada pertemanan, tidak ada embel-embel suka apalagi prenjon-prenjonan.

“Gue sayang sama dia. Gue nggak mau dia salah paham sama Louis. Gue nggak tau gimana cara elasin ke dia kalau dia punya tempat tersendiri di hati gue dibanding Louis. Kenapa dia harus balik malam itu? Dia marah sama gue, Lis. Sekarang hapenya nggak bisa dihubungi. Gue mau jelasin sama Rere kalau kemarin itu keadaannya Louis lebih membu—?” ucapnya terhenti saat seseorang yang sedang dia bicarakan ada di hadapannya.

Wajar saja dia tersinggung, rutuknya dalam hati sembari menyisiri koridor SMA Dirgantara yang tentunya masih sepi saat jarum jam digital tangannya menunjukan pukul 6.12 pagi.

Masih terekam jelas dalam ingatannya saat mata segelap obsidian itu memantapkan atensinya kepada dirinya. Mata yang biasanya terlihat tenang dengan sorot kemalasan menghiasi, mendadak terlihat keruh dan suram.

"Nggak ada yang minta bantuan lo dan lo juga bukan se-se-o-rang sampe harus membantu gue," ucapnya penuh penekanan.

Gadis hanya bisa terdiam, sesekali mencoba salivasi susah payah karena ekspresi yang tidak pernah ditemukannya dalam diri Louis.

"Kenapa diam?"

Melihat Gadis yang seperti robot kehabisan energi membuat Lilis di sampingnya tidak enak hati. "Gini loh, Is. Maksud Gadis itu-"

"Lo siapa?"

"Ha?" Lilis menyadari kesalahannya dengan cepat sebelum lawannya menghunus. Dia memilih diam.

Louis mendengus keras, terlihat tangannya tak tenang mencengkeram tekstur kasar meja di bawahnya. "Gue ngomong sama lo, Dis!"

Gadis mengangkat kepalanya. "Gue salah apa? Gue udah ngomong yang sebenarnya, di sini lo cuma salah paham."

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang