19 | Tersayang atau Terbuang

58 27 0
                                    

Akan ada saat di mana kita merasa semuanya telah berubah. Kita tidak sadar dan kita telah lengah.

Saat kita terbangun, maka tak ada kesempatan untuk kembali. Dan hari esok, ternyata sudah tak sama lagi.

...


SUDAH beberapa jam terlewat sejak matahari beranjak turun menuju peraduannya, namun perempuan itu masih tidak bergeming dari balkon kamar hotel yang dia inapi malam ini. matanya menatap lurus menuju jalan raya. Di sana, puluhan mobil melintas, kerlap-kerlip lampunya mengalahkan ratusan bintang yang berserak tersembunyi di balik awan. Sesekali dia melirik ponsel di tangannya, lalu menghembuskan napas hampa.

Rere : Iya, gue lagi di Bandung dan lagi di rumah Gadis.

Rere : Kapan gue pulang bukan urusan lo!

Rere : Gue ke sini karena kangen ibu negara-nya gue.

Rere : Stop, Rin! Ngapain lo ikut ke Bandung? Nyusul gue? Jangan begi, deh!

Televisi yang menyala membuatnya beranjak dari sana, sebuah sinetron dengan scane paling sadis saat ini mengisi layar datar berukuran 20 inch. Ia terdiam cukup lama di sana, kisah percintaan itu semakin sengit ketika sang gadis meminta agar laki-lakinya memilih antara dirinya ataukah wanita baru yang menjadi huru-hara hubungan mereka.

Dia merasa gerah. Diraihnya remote dan setelah ditekan, dalam sekejab layarnya berubah gelap.

“Hah, nyebelin! Kenapa setiap dongeng dan sinetron selalu happy ending? Iya, tau. Dia penulis naskahnya dan dia tuhan atas cerita yang ditulisnya. Tapi masa harus dipaksain banget. Nggak sesuai realita!” dia benar-benar gerah. Dibukanya gelas di atas meja kemudian dalam kurun waktu yang cepat, air di dalamnya tandas.

“Kenapa hidup banyak dramanya? Kenapa cowok suka banget ingkar janji hanya karena wanita pengganti? Bahkan, di sinetron sekalipun pelakor masih bisa menang di atas derita wanita yang terbuang.”

Perempuan itu merebahkan tubuhnya di sofa, lantas membagi tatapannya pada ponsel di atas meja. Bergetar. Layarnya menyala. Sebuah panggilan menyembul keluar dari tempat persembunyiannya. Notifikasi dari orang yang sudah dia tunggu sejak tadi siang untuk dijadikan pelampiasan.

"Halo, maaf lancang. Louis lagi sakit dan dia nggak bisa bales chat kamu. Sekali lagi maaf ya, nanti aku bilangin sama dia kalau kamu udah chat dia beruntun."

"Halo?"

"Kamu masih di sana 'kan?"

"Ya udah, deh. Udah dulu, ya, Karin."

Tut!

Panggilan telah terputus tapi rantai nyeri sedang menjeratnya. Sakit? Sakit apa? Perempuan itu bertanya-tanya. Dadanya mendadak ngilu, seperti ditikam sesuatu yang tajam dan berkarat. Bukan, dia bukan khawatir atau cemas pada keadaan Louis melainkan pada suara seorang perempuan di seberang sana yang terasa sangat familiar untuknya.

Dilemparnya i-phone pengeluaran terbaru yang baru saja dia beli dua bulan yang lalu. Dia tidak mungkin salah. Retak sudah ponselnya dan layarnya pecah, seketika tidak ada tanda-tanda kehidupan yang tersisa.

“Aaargh!” Dia berteriak kencang. “Kenapa? Kenapa lagi-lagi harus dia? Apa nggak cukup dia jadikan Rere babunya?”

Dan seketika, kamar hotel itu mendadak suram dan penuh dengan kegelapan juga ... kebencian.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang