Jika bahasa masa lalu bisa dijabarkan,
Maka tak perlu banyak penantian.Karena meski menyakitkan,
Jawaban itu ada, walau sebentuk luka....
"GADIS, bangun. Bu Wakesan masuk, nih," ujar Lilis pelan sambil sesekali menyenggol bahu Gadis pelan, membuat Gadis sontak mengerang, untungnya dengan nada pelan. Tapi, mau tak mau ia mengangkat kepalanya juga.
"Gue mau izin ke toilet dulu, deh kalo gitu. Mau cuci muka soalnya."
"Nanti aja, tunggu Bu Wakesan keluar aja. Dia cuma mau ngenalin murid baru 'kok." Gadis mengangguk acuh. Rasa kantuk masih menyergapnya. Bahkan, saat handphone-nya di bawah mejanya bergetar, Gadis mengambilnya dengan malas-malasan. Merasa terganggu karena ada yang mengiriminya chat yang paling-paling akan dia abaikan lagi seperti yang sudah-sudah setelah melirik notifikasinya.
+628xxxx : Nggak sabar ketemu sama lo.
Di luar dugaan. Gadis menolak mentah-mentah niat hatinya mengabaikan pesan tersebut. Jari lentiknya langsung menyambar notifikasi, membukanya lalu merapalkan berulang kali nomor yang baru saja mengiriminya pesan.
Berkali-kali. Gadis baca berkali-kali nomor telponnya.
Tidak salah lagi, itu ... Kiran.
Sebenarnya tidak perlu berulang kali. Dengan satu kali melihatnya saja Gadis sudah bisa menerkanya. Meski nomor itu sudah lama hilang dari daftar teman kontaknya, tapi Gadis masih hapal betul nomor sahabatnya itu. Dan chat yang dikirimkannya sudah menjadi bukti yang jelas kalau Gadis sedang tidak salah orang.
+628xxxx : Finally, hari ini.
Tepat setelah pesan itu sampai padanya, seseorang muncul dari daun pintu. Cewek manis berhidung bangir dengan rambut hitam sepinggang. Tergerai, seperti fasion rambutnya selama ini.
Saat mata mereka bertemu, Gadis kaku. Hanya dengan sekali melihatnya, bayangan lima tahun yang lalu itu kembali di ingatannya. Memenuhi seluruh rongga syaraf yang tersebar di otaknya. Wajah sedih bercampur marah itu masih melekat, tatkala Gadis disebut-sebut sebagai 'pembunuh'.
Jawaban atas segala ketidakmungkinan dan ketidakwajaran terungkap sudah. Bukan Kiran, tapi adiknya-lah dalang di balik boneka teddy dan liontin setengah hati yang kemarin dia temukan tergeletak di depan gerbang rumahnya. Karin sudah menjawab semua kebingungannya.
"Sepertinya kalian sudah tidak perlu berkenalan lagi dengan Karin. Kan, dia murid lama Dirgantara juga?"
Semua murid serempak mengangguk membenarkan. Sepertinya mereka semua merasa bingung dengan kembalinya Karin lagi ke SMA Dirgantara setelah pindah satu semester. Berbeda dengan Lilis di sampingnya, perempuan itu justru berbinar senang karena teman lamanya kembali. Di dalam benaknya, ada rasa tak sabar memperkenalkan Gadis pada Karin supaya saat mereka hangout akan pergi bertiga.
Karin melangkahkan kakinya untuk duduk. Tapi, langkahnya berhenti tepat di depan Gadis. "Gue ... kembali," ujarnya memang menyapa Lilis. Tapi, Gadis yang paling tahu ke mana sebenarnya sapaan itu tertuju.
Lilis tersenyum sumringah. "Tapi sayang, ya, kita nggak bisa sebangku lagi," tambah Karin sembari melirik Gadis.
Gadis yang cukup peka itu merapikan mejanya, memasukkan perkakas alat tulisnya lalu menenteng tasnya. "Thanks udah minjemin bangku ini selama satu semester," ujarnya kalem.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Together
Teen FictionAda banyak cara untuk bersama. Sebagian akan mengejar dan mengatakan secara lantang. Pada sebagian lainnya, berupa amarah dan cemburu yang disembunyikan. Ada yang mengekang ada pula yang masih gamang. Kita telah menemani satu sama lain, menutupi ma...