Perihal rasa suka yang hanya memandang rupa
Besar kemungkinan pula untuk jatuh cinta pada pandangan pertama
...
DERAP langkah kaki menggema. Sepatu pentopel seperti berteriak nyaring pada lantai berkeramik di sepanjang koridor sunyi. Tepat di belakangnya, ada kaki lain mengikuti. Namun, bunyinya lebih ringan dan lebih pelan dibanding yang di depan.
Yang di belakang sudah pasti murid. Mana boleh murid pakai pentopel.
Apalagi mengingat eksistensi SMA Dirgantara yang begitu terkenal akan paling disiplin se-Bandung. Jangankan pakai pentopel, kelas yang sedang jam kosong pun senyap dan saat jam masuk berdentang, SMA Dirgantara berganti alih fungsi menjadi seperti kota mati.Perempuan berseragam abu-abu dengan rambut sepinggang warna kecokelatan dan agak kemerahan itu mendongak ke atas. Pada papan berukuran sedang bertuliskan Mipa-2.
"Ini kelas kamu, Gadis."
Gadishya Ayu, ia adalah murid baru yang pindah sekolah karena orang tuanya pindah tugas ke Bandung. Walaupun dia tahu bahwa Bandung jelas berbeda dengan Metropolitan tercintanya, tapi Gadis akan berusaha beradaptasi. Sebagai anak, kita memang tidak punya pilihan. Saat orangtuanya memaksa Gadis meninggalkan Jakarta, Gadis ikut-ikut saja.
Guru berbadan gemuk dengan kaca mata yang menutupi kelereng matanya itu tersenyum ramah padanya dan sedetik kemudian Gadis turut membalas senyum tersebut.
"Baik Bu, terima kasih!"
Wanita yang menjabat sebagai guru kesiswaan sekaligus guru bimbingan konseling di SMA Dirgantara itu pamit undur diri dan berbalik meninggalkannya menuju ruang kelas lain. Barangkali ingin berkeliling, sementara Gadis menarik napas dalam-dalam.
Setelah usai, dia mengetuk pintu. Menjadikan kelas yang semula hanya gaduh oleh jeritan penjelasan guru pada mata pelajaran yang entah dia tak tahu itu, mendadak senyap. Semua mata tertuju padanya. Pada pintu yang terbuka dan dirinya yang masih mematung dengan senyum canggung.
Wanita berbaju kedinasan yang dia yakini adalah guru yang tengah mengajar, mendekatinya dan menuntunnya ke tengah ruangan. Masih dengan senyum canggung seperti barusan. Dia harus ramah, menurutnya.
Guru itu menepuk pundaknya. "Kamu murid baru, kan? Panggil saya Bu Mia. Saya guru matematika di sini!"
"Iya, Bu," sahutnya cepat dan Bu Mia mengangguk lalu menatap semua muridnya.
"Perkenalkan, ini Gadishya Ayu. Dia pindahan dari Jakarta karena harus ikut orangtuanya yang pindah tugas."
Gadis tersenyum sambil melambai sedikit. "Hai, kalian bisa panggil Gadis aja!"
"Saya yakin kalian akan cepat akrab dengan Gadis, dia murid yang pintar. Di sekolahnya sebelumnya Gadis sering mengikuti turnamen antar sekolah juga Olimpiade berskala Nasional."
Sontak saja, perkataan Bu Mia membuat banyak murid membuka mulut mengucapkan kata wah dengan kagum. Beberapa mengucapkan hai untuk membalas sapaannya tadi.
Gadis tersenyum canggung dan matanya mulai mengedar ke depan. Melihat semua siswa terpaku padanya, Gadis semakin gugup. Dia mulai memerhatikan penampilannya sendiri takut-takut ada yang salah. Syukurlah rambutnya sudah diikat rapi, bajunya putih bersih, dan tidak seksi juga memperlihatkan lekuk tubuh.
Saat dia tengah bergumul dalam pikirannya sendiri, Bu Mia menepuk pundaknya.
"Gadis, kamu sudah bisa memilih tempat dudukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
About Together
Teen FictionAda banyak cara untuk bersama. Sebagian akan mengejar dan mengatakan secara lantang. Pada sebagian lainnya, berupa amarah dan cemburu yang disembunyikan. Ada yang mengekang ada pula yang masih gamang. Kita telah menemani satu sama lain, menutupi ma...