18 | Perasaan dan Harapan

68 27 1
                                    

Tidak semua hal di dunia ini dapat dimengerti.

Salah satunya tentang perasaan yang apakah hanya harapan?

...

PEREMPUAN itu mendengus keras. Dia kesal setengah mati karena telah dijadikan gelandangan dadakan. Faisal meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan karena konon katanya, flashdisk berisi data kepengurusan Osis beserta tetek bengeknya terjatuh entah di mana. Saat ini, pemuda itu menuju sekolah, mencari flashdisk yang sepertinya lebih penting dari pacar sendiri.

“Duh, gimana pulangnya ini, gue?” tanyanya bermonolog sendiri sambil celingak-celinguk berharap ada taksi yang lewat. Beberapa kali taksi sudah ia lambai tapi selalu saja sudah berisi penumpang.

Menyebalkan!

“Oy, Lis! Kok ada di sini? Faisal mana? Mau pulang sama gue, nggak?”

“Ah, sial!” Lilis berpaling muka, pura-pura tidak melihat.

Orang itu tidak peduli. Dia mengikuti ke mana pandangannya bermuara untuk berdiri di sana pula. “Apa, sih, Fan?! Nggak usah gangguin gue, deh.”

Kali ini dia tidak diam. Dari pada menunggu taksi yang entah di mana juntrungannya, dia berjalan ke arah rumah. Siapa tau ada orang baik yang menolongnya, setidaknya lebih baik dari si cecunguk Refan ini.

“Gue bisa pulang sendiri!” Refan tidak peduli. Dia membuntuti Lilis sampai perempuan itu mau ikut diantar pulang dengannya. Dan setelah bermeter-meter berjalan, kakinya keram rupanya.

“Ah, sial!” Lilis mengumpat untuk yang kedua kalinya.

Ini salahnya karena kemarin berlari tak tentu arah tak kenal lelah saat Tyas dikabarkan dirawat di rumah sakit. Karena tidak fokus, dia beberapa kali tersandung, menabrak kursi roda orang, hingga kepentok brankar berjalan. Lihat, apa yang terjadi sekarang? Kakinya mendadak keram hanya karena berjalan beberapa meter.

“Lis, lo nggak apa-apa?” tanya Refan saat didapatinya Lilis kehilangan kendali atas tumpuannya. Laki-laki itu membantunya berjalan menuju mobilnya yang hanya dua meter dari tempat mereka berpijak.

“Lepas! Gue nggak butuh bantuan lo?” tepis Lilis saat Refan berusaha menuntunya ke dalam mobil. Refan tidak peduli, dia tidak mengindahkan sama sekali.

Saat ini, keduanya sudah ada di dalam mobil. Refan mengangkat kakinya ke pangkuannya kemudian mengoleskan salep pereda nyeri. Tanda biru akibat pentokan kemarin masih kentara di sana. Lilis tidak berkomentar apa-apa. bohong kalau dia tidak merasa meleleh dengan perlakuan Refan yang masih sama pedulinya dengannya seperti dulu.
Mencoba mengalihkan perasaan aneh itu, dia memalingkan muka—tidak sudi bersitatap dengan Refan—saat kakinya telah diselamatkan.

“Nah, udah selesai.” Dialetakkannya dengan hati-hati kaki Lilis. “Gue bakal nganter lo pulang. Janji nggak bakal mampir ke mana-mana ‘kok. Langsung pulang!”

Setelah itu, dia benar-benar mengantarnya pulang. Beberapa kali Refan mengajaknya bicara, Lilis tidak menanggapi sama sekali. Dia biarkan Refan mengantarnya pulang ke rumah karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk pulang sendiri.

Okay, congratulations on the opportunity, Refan.

•••

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang