12 | Yang Teramat Rapuh

95 37 14
                                    

Aku mungkin tak seindah purnama.
Tak seperti nada dalam senandung ria.

Tapi Setidaknya,

Jangan berjanji jika tak dapat menepati.
Jangan berjanji jika hanya untuk menyakiti.

...

KEDUANYA tertawa bersama-sama sebelum akhirnya Refan mengajaknya pulang bersama dan Gadis setuju untuk pulang meski hanya akan di antar dengan angkutan umum tapi kalau ditemani pangeran tampan seperti Refan, siapa yang bisa menolak?

Tanpa keduanya sadari, seseorang meremas botol isotonik yang rencananya akan dia berikan untuk Gadisnya saat perempuan itu selesai membimbing adik tingkatnya, tapi harus gagal karena drama melankolis berujung tawa dengan lapangan basket outdoor sebagai saksi bisunya.

Dengan cara yang tidak etis, dia lemparkan botol isotonik yang sudah kehilangan dinginnya itu ke dalam bak sampah.

Gadis, tidak tahukah dia kalau Louis sudah mulai menerimanya sebagai ....

Pacar (?)

•••

"Lis," panggilan itu membuat jantungnya berdebar tak tertolong. Pun saat laki-laki itu merogoh sesuatu dari dalam ranselnya, lalu mengeluarkan kertas berwarna merah muda. Dia menyerahkanya meski dengan tangan gemetaran. "Ah ...."

Lilis memandang kertas merah muda di tangannya seraya menyeka rambut hitamnya.

"Ini ucapan ulang tahun untuk Lilis yang aku tulis tangan, maaf kalau ceker ayam."

Lilis memandang laki-laki di hadapannya, dia sangat gugup dan sepertinya laki-laki itu tak kalah gugup. Berkali-kali dia tertangkap basah tengah membasahi bibirnya yang cepat mengering itu.

"Em ...." Dia menggaruk tengkuknya. Sebentar saja kemudian beralih menatap gadis di hadapannya, menatapnya lamat-lamat sebelum berucap, "Lis, kamu mau 'kan ulang tahun kamu kali ini quality time sama aku?"

Rona merah menguar samar di pipinya. Ia tersenyum kaku dan ragu-ragu. Rasanya ini benar-benar tidak seperti Lilis yang biasanya.

Oh, ayolah, dia dan laki-laki di hadapannya ini sudah bersama sejak awal masa ospek pada tahun pertama mereka menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama dan tidak pernah sekalipun keduanya malu-malu satu sama lain sebagaimana sekarang.

Lilis menerima surat tersebut dengan senyum yang dikulum, ia berucap, "Aku mau."

Keduanya merasakan kalau hati mereka sama-sama meleleh. Laki-laki itu tersenyum padanya dan mengangguk. "O-oke." Dia tertawa setelahnya, pun dengan Lilis untuk melepas kecanggungan. "Kalo gitu, aku pamit, ya?"

"Eh?"

Laki-laki itu belum dua langkah menjauh tapi dia berbalik setelah mendengar Lilis seperti ingin mengatakan sesuatu. "Kenapa, Lis?"

"Kamu kan harus latihan basket setiap hari Rabu, gimana caranya kamu bisa quality time sama aku?"

Laki-laki itu tersenyum hangat, dia membelai surai yang hanya panjang sebahu milik Lilis dengan lembut seperti seorang ayah yang tengah memberi pengertian pada anak gadisnya. "Nggak apa-apa, kok. Aku bisa minta izin nanti."

"Yakin bakal diizinin? Selama ini kamu minta izin nggak pernah dikasih izin, tuh."

Lagi-lagi laki-laki itu tersenyum ramah, dia memegangi pundak Lilis seolah meyakinkan. "Tenang aja, okey?"

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang