48 | Kehangatan Lainnya

18 4 0
                                    

Selalu ada terjatuh, lalu terluka. Meski berdiri dengan susah payah, berjalan dengan terpatah-patah, kita hanya punya dua opsi pilihan; meratapi atau mencari solusi.

Karena dalam bercanda dunia, tak ada resep bahagia.

•••

MALAM jatuh sejak beberapa jam yang lalu. Pada kota Bandung yang terlihat jelas dari roftop lantai dua rumah Louis, empat orang yang biasanya kalau berkumpul akan bercicit lebih mirip burung dan anam ayam kali ini justru terdiam dengan isi kepala masing-masing.

Selepas kejadian yang menggemparkan dua kubu, tak terasa sudah dua bulan semuanya berlalu.

"Gimana Lilis?" tanya Louis pada Faisal dan laki-laki itu menjawabnya dengan menggeleng lemah.

"Gue ...." Refan menunduk dalam, berusaha mengumpulkan suara-suara untuk bisa ia utarakan. "Gue gak tau harus ngomong apa. Selain Louis, gue sama Aldo juga orang yang tau kalau orang yang Lilis sebut papa bokapnya Louis."

Gadis menambahkan, "gue juga tau, tapi gue gak tau kalau di belakang gue ada lebih banyak orang yang tau lebih dulu. Rasanya bodoh banget gue nyimpen semua ini sendirian selama ini."

"Dan lo gak harus bikin gue salah paham waktu itu?" tanya Louis.

Gadis menunduk, tak mampu melihat mata gelap obsidian itu menumbuk dalam matanya. Sejujurnya, mengingat hari itu pun masih membuat Gadis tersiksa. Ia masih terluka setiap wajah pias Louis membayang di pelupuk matanya.

"Dan sebenarnya karena apa, Karin membenci lo?"

Baik Gadis maupun Louis dan Refan sama-sama mendongak. Alasan mereka berkumpul di tempat yang sebelumnya tak pernah mereka pijaki bersama adalah karena ingin bersidang atas satu nama; Key Lilisia, yang teramat penting bagi mereka. Adapun Karin, adalah topik yang sama sekali melenceng di sini.

Refan memiringkan kepala, bingung.

"Gue gak sengaja ketemu Andre dan Karin waktu mereka berantem. Nama yang sering mereka sebut adalah nama lo, awalnya gue bingung Karin benci sama lo atau Andre, tapi setelah omongan lo barusan, itu menjawab tanda tanya di kepala gue."

Hening.

"Dis ...." Louis memanggilnya pelan.

Gadis membutuhkan waktu menyebut nama, "Kiran." Dalam obrolan mereka. Menceritakan tentang Kiran adalah hal yang tidak mudah bagi Gadis. "She's my best friend whose body i can't touch anymore ...."

Nama yang sama, yang pernah Gadis sebutkan di tempat yang sama.

Refan pernah mendengar nama itu sebelumnya saat mereka tanding basket beberapa bulan yang lalu, tapi ia masih belum mengerti apa hubungan Kiran dengan semua kebingungan ini. Maka jawaban Gadis selanjutnya, menjawab pertanyaannya.

"Gue ... yang bikin Kiran me—" Gadis tersentak, suaranya mulai patah-patah. Susah payah ia telan tangisnya untuk tak ia perlihatkan di depan semua orang.

Sampai sebuah pelukan Louis sampai padanya, kehangatan rangkuman tangan dari Refan dan Faisal yang menepuk punggungnya seolah menyentuh tabung penyimpanan air matanya. Tangis itu meledak, keluar semua dan habis di bahu-bahu ketiga laki-laki itu.

Faisal tak pernah tahu kalau ada begitu banyak orang yang penuh retakan di sekitarnya, teramat rapuh namun susah payah menahan semuanya sendirian. Dan bagi Refan, Gadis bukanlah orang yang membuatnya bisa tutup mata dan menganggap tak terjadi apa-apa. Karena selama ini, berkat Gadis lah semuanya membaik.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang