02 | Parasit Dari Jakarta

241 59 98
                                    

Suka boleh,

Bodoh jangan!

...

BEL istirahat bergema nyaring di seluruh seantero sekolah. Didengar semua kelas. Sontak saja hal itu membuat guru mata pelajaran tiap kelas masing-masing mengakhiri pembelajarannya dan pamit undur diri, tidak terkecuali dengan Bu Mia selaku guru matematika di kelas Mipa-2 itu.

Setelah kepergian Bu Mia, semua siswa berjubel menuju kantin dan ramai memesan makanan untuk mengisi perut yang cacing-cacingnya sudah lapar.

Berbeda dengan Gadis. Dia tidak ke kantin dulu dan memilih untuk ke perpustakaan.

"Makasih ya, Dis, udah mau bantuin gue. Lo baik deh. Temen piket gue yang lain pada cowok sih. Bangor!"

Gadis tersenyum dan manggut-manggut. "Iya, gue ngerti kok. Lagian ... temen-temen gue di Jakarta memang banyakan cowok dan mereka juga banyakan nakalnya dibanding baiknya."

"Ha? Seriusan lo!" Gadis mengangguk sementara Lilis sempat melongo sebentar. "Gue pikir, cowok Jakarta itu pinternya nauzubile. Soalnya pindahan Jakarta yang pindah ke sini pada pinter semua. Mulai dari Refan terus Karin terus disusul sama elo. Ya, walaupun Karin cewek. Tapi serius dah, pinter semua."

Gadis hanya bisa terkikik. "Mereka semua pindah karena tugas orang tua 'kan?" Lilis mengangguk setuju. "Lo cuma belum pernah ketemu pindahan Jakarta yang pindahnya karena di drop out sekolah aja."

"Bahkan kalau dibandingkan dengan kedisiplinan siswa sini, sekolah gue yang di Jakarta itu nggak ada seujung kukunya."

"Baru nyadar sekolah gue punya jari," ucap Lilis tertawa dan keduanya mulai cekikian bersama di sepanjang koridor.

Gadis benar. Lilis hanya tidak pernah bertemu pindahan Jakarta yang bukan harus pindah, melainkan terpaksa pindah.

"Tapi kebanyakan anak nakal hidupnya beruntung. Mereka bisa bertahan di sana hingga menyandang gelar lulus dengan naungan uang keluarganya."

Lilis mengangguk setuju. "Ah, kalo itu gue setuju. Kaya Louis Alviago misalnya. Walaupun sering bolos dan jarang mengerjakan tugas, dia sama sekali nggak pernah dapet SP karena status almarhum kakeknya yang mantan donatur di sekolah ini."

Mendengar nama Louis, Gadis sedikit tertarik dengan pembicaraannya dengan Lilis. "Bernaung di bawah keseganan guru gitu?"

"Yup!" celetuk Lilis sembari membenarkan buku-buku ditangannya yang sedikit bergeser ingin jatuh. "Tapi jangan salah. Louis dulu gak kayak gitu kok. Dia pernah sekali membanggakan sekolah bahkan ke tingkat Nasional. Tapi, ya sama sekali nggak ada yang tahu kenapa dia mendadak jadi pemalas akut begitu."

Lilis tidak sadar kalau pernyataannya membuat Gadis di sampingnya terpaku sesaat. Gadis semacam de javu, seolah di ajak terbang pada dimensi yang tidak dia kenal lagi. Gadis tiba-tiba teringat pada seseorang dari masa lalunya yang sekilas mirip dengan Louis. Beruntung Lilis tidak memerhatikan karena Gadis cepat-cepat mengembalikan mimik wajah.

"Ahaha, wah wah. Sayang banget kalo gitu ya..."

Kedengarannya dipaksakan, tapi untungnya Lilis tidak menyadari itu. Lilis lebih banyak memerhatikan wajah Gadis yang berbentuk oval dengan pipi yang sedikit berisi dengan warna kemerah-merahan alami. Hidungnya bangir, tidak terlalu mancung namun terlihat manis. ditambah dengan bibir mungil versi busur. Saat semuanya bergerak-gerak, siapa pun yang melihatnya pasti akan menahan napas sebentar.

Gadis di matanya itu cantik. Dia juga baik, ramah dan murah tertawa pada semua orang. Tidak heran kalau dalam waktu beberapa detik saja, dia sudah bisa mengakrabkan diri dengan seluruh penghuni habitat Mipa-2.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang