03 | Hidupku Rupanya Apes

196 58 61
                                    

Berhadapan dengan cobaan, kerap kali membuat manusia lupa.

Kapan terakhir kali dia bahagia.

...

ALUN-ALUN Bandung tidak pernah bertemu kata sepi karena memang lebih akrab dengan kata ramai meski di hari kerja sekalipun. Tempat itu selalu dipadati pengunjung setiap saatnya, entah diisi oleh orang kelas lansia atau para orang tua yang sedang menemani putra dan putrinya bermain, pasangan kekasih yang berpacaran, bahkan oleh pelancong yang sedang berlibur. Padahal tempat itu hanyalah alun-alun, bukan tempat wisata luar biasa yang sekiranya sekelas dengan wahana dufan.

Untuk hari Minggu seperti ini, kepadatan Alun-alun akan naik dua sampai tiga kali lipat. Biasanya, setengah dari orang-orang yang memadati tempat tersebut memiliki tujuan yang sama dengan Gadis, olahraga.

Perempuan rambut panjang warna kecoklatan yang rambutnya itu sudah dikepang sedemikian rupa, membetulkan letak earphone warna putih bermerek Sennheiser by Dr. Fritz di telinganya, tanpa mengurangi kecepatan larinya sedikitpun. Pakaian jogging miliknya sedikit memperlihatkan lekuk tubuh. Wajahnya yang baby face kulit putih, membuat orang-orang akan menoleh dua kali karenanya. Gadis tidak peduli dan tidak menghiraukan, bahkan pada pandangan kagum dari sekelompok remaja yang dilewatinya, tapi tiba-tiba sebuah siluet dari seseorang yang agaknya tidak asing untuknya, membuatnya berhenti.

Senyumnya merekah, segera dia mampir untuk membeli tiga potong burger daging dan kemudian melangkah mendekat untuk mendatangi seseorang itu.


•••


Bunda : Bunda sama Ayah mau pergi ke rumah Tante Mauren, suaminya kecelakaan. Bunda udah masak, kamu jangan lupa makan. Nanti ajak Pelo jalan-jalan ya.

Laki-laki dengan wajah bantalnya yang masih begitu kentara itu menatap pesan itu datar lalu kembali memasukkan ponsel dengan dan berlogo apel digigit itu ke dalam saku. Segera saja dia turun ke bawah dan menuju dapur. Kakinya melangkah pelan dan teramat santai mencapai meja makan. Dibukanya tudung saji di atas meja makan yang mana kacanya beralaskan kain berenda warna putih bersih. Benar saja, Bunda Louis sudah masak.

Louis mengambil duduk kemudian makan sendiri. Dia tidak memakan masakan Bunda, dia mengambil selembar roti, mengolesinya dengan selai rasa stroberi dan setelah selesai, dia masukkan piring kotor itu ke dalam bak cuci piring. Entahlah, Louis merasa terlalu malas meski sekadar hanya mencuci satu piring pun.

Dia ke kamar mandi sebentar, menggosok gigi dan membasuh muka yang mana matanya masih sulit untuk melek terbuka. Setelah itu, dia mengambil handuk juga sabuk pet untuk mengajak jalan-jalan Pelo, si Papillon butterfly peliharaan keluarganya yang juga merupakan teman terbaik Louis sejak kecil.

Dia berjalan keluar. Tubuh tingginya berjongkok lalu mengajak Pelo keluar dari rumah kecilnya. Louis mengelus puncak kepala anjing itu, membuat Pelo merasa yakin dan senang akan di ajak jalan-jalan, Pelo menggonggong dan mengibaskan ekornya ke kiri dan ke kanan sebelum hingga akhirnya dialah yang menyeret Louis keluar dari pekarangan.

Laki-laki itu sebenarnya malas keluar rumah. Meski lun-alun hanya berjarak beberapa meter saja dari komplek perumahannya, Louis tetap malas. Dia sebenarnya ingin rebahan dan bermain game saja di kamar seharian penuh, tapi perintah Bunda adalah hal yang paling sulit dia tolak. Meski Bunda tidak pernah marah-marah dan selalu lembut padanya, perkataan Bunda akan tetap menjadi final untuk seorang Louis Alviago.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang