04 | Kedatangan Pagi Hari

169 52 58
                                    

Senyum manisnya hanya untuk dukanya.
Tawa jenakanya hanya untuk lukanya.

Tetap saja,
Tidak ada yang baik-baik saja saat dituntut lebih dewasa sebelum umurnya.

...

Malam sudah beranjak larut, namun lampu kamar Key Lilisia nampaknya belum ingin terlelap. Pemiliknya masih berkutat dengan kertas-kertas dari divisi management toko milik keluarga. Toko atas nama sang Mama tapi Lilis lah yang konon menanganinya.

Anak seusianya memang belum pantas menangani pekerjaan seberat itu. Pun dengan tuntutan; kamu pasti bisa, mama percaya sama kamu.

Pada akhirnya, jika dia salah tetap saja salah. Berpuluh kali pun dia memutar otak, tidak ada yang masuk akal dari ucapan sang Mama. Tidak akan ada yang bisa dia tangani.

Layar ponsel yang menyala menarik perhatian Lilis. Nama seseorang yang dia save dengan inisial R tertera sebagai penelponnya, Lilis lantas mengembuskan napasnya keras-keras. Dengan malas, Lilis menggeser layar ponsel dengan ujung jari terlunjuknya.

“Ya, kenapa?”

Embusan napas terdengar jelas di telinganya. “Aku kangen, Lis. Kamu kenapa nggak mau ketemu aku lagi, sih? Kenapa sekarang anggep aku kaya orang asing?”

“Nggak suka?” sahutnya tanpa ramah tamah. Dia bangkit, kakinya melangkah menuju balkon kamarnya. “gue bukan menghindar tapi emang harus menghindar. Gue nggak mau lagi sampe Faisal salah paham sama lo yang suka ngintilin gue.”

To the pointnya membuat seseorang di seberang sana bungkam.

“Gue cuma suka sama Faisal.” Final sudah pernyataannya dan tidak ada barang siapapun yang bisa menganggu gugatannya.

Sebelum Lilis mematikan ponselnya, buru-buru disanggah oleh lawan bicaranya. “Apa sih bagusnya Faisal dibanding aku?”

Napasnya tertarik keras. Pembicaraan ini sudah menjadi yang kesekian mereka bahas. “Bisa? Jangan bahas ini lagi, udah muak gue!”

Seketika panggilan diputuskannya secara sepihak dan detik itu juga layarnya padam. Dimatikan oleh sang empunya. Rambutnya yang tergerai, beterbangan dilemparkan oleh angin malam. Hatinya hanya menggemakan satu kata; andai.

Andai saja dia mengerti posisinya.

Andai saja dia selalu ada untuknya.

Andai saja dia membagi waktu antara dia dan basketnya.

Sayangnya, Tidak ada pilihan lain selain bersikap seolah-olah membencinya. hal itu sudah terlalu fatamorgana untuk dirinya dan ... dia.

•••

Beberapa hari mengenalnya, Louis seolah mengerti kalau Gadis bukan tipikal perempuan yang pantang menyerah dan mengejar tanpa kenal lelah. Namun Louis tidak menduga, bahwa amunisinya harus digunakan pagi ini. Di meja makan rumahnya. Di depan orang tuanya.

Good morning pacar,” Gadis menyapa Louis riang, matanya berkilat jahil. Perempuan itu menarik meja makan di sampingnya, lalu menepuk-nepuk bantalan kursi tersebut.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang