07 | Cuma Dia dan Basketnya

131 44 35
                                    

Pada siapa raga bersama, masih bisa ditentukan.

Pada siapa hati tersimpan, maka hanya pemiliknya yang mampu merasakan.

Pemilik hati, juga awal dari cinta bersemi.

...

NOVEL di tangannya tidak pernah membiarkan mata pemiliknya lepas barang sejenak sejak satu jam yang lalu. Sambil ditemani secangkir lemon tea dan musik akustik dari i-pad biru dongker miliknya. Key Lilisia membaca cukup khidmat, sesekali ia akan tersenyum sendiri dan sesekali ia akan tertawa kalau ada yang lucu dari percakapan antar tokoh yang ia baca.

Meski sebenarnya Lilis lebih senang bermalas-malasan di tempat tidur, membaca novel di tengah kesibukannya menjaga toko milik sang mama nampaknya tidak terlalu buruk dan dia selalu melakukannya dan mengabaikan tumpukan kertas management di atas meja persegi.

“Malam, tuan puteri.”

Seseorang mengenakan kaus putih dipadukan dengan celana jeans berwarna senada dengan jaket army yang dikenakannya, memecah keheningan dalam ruangannya. Lilis tersenyum, melepaskan kaca mata bulat miliknya kemudian meletakkan pembatas untuk novelnya.

“Malam, pangeran.”

“Gue pikir lo nggak bakal datang malam ini,” tambahnya disertai dengan lengkungan sempurna dari dua buah bibirnya.

Laki-laki itu mengambil kursi dan duduk di depan singgasana—kursi pemilik tempat itu—milik Lilis. Matanya menghindar dari tatapan lawan bicaranya, menatap langit dari kaca besar yang menjadi dinding pembatas dengan alam luar dari lantai dua toko tersebut.

“Faisal Abimana nggak pernah berubah, selalu menepati janji seperti biasanya.”

Well, Lilis sudah peka kalau pembicaraan ini akan terasa berat malam ini. Lilis mengenal betul bagaimana Faisal kalau ada yang ingin dia bicarakan, seperti sekarang ini misalnya.

“Gue juga nggak pernah berubah kok. Kalau nggak bisa malas-malasan di tempat tidur, gue memilih baca novel sambil nungguin tokonya nyokap.”

Gampang sekali Lilis bilang toko. Kadang Faisal heran, dia sengaja merendah atau memang tipe bahasa yang digunakannya terlalu kuno. Minimarket dengan dua lantai, memiliki kurang lebih empat puluh pegawai yang belum dihitung beserta office boy, dia sebut sebagai toko?

Baiklah, kembali ke tujuan utama. Ada hal yang ingin Faisal pastikan pada Lilis. Setelah mengambil napas panjang, Faisal baru mampu mengatakannya. “Kalau hati elo gimana, masih sama atau udah berubah?”

Lilis berhenti tersenyum dan ia menatap laki-laki berambut keriting di hadapannya.

“Kenapa liat gue gitu? Pertanyaan gue susah banget buat di jawab, ya?” tanyanya saat Lilis cuma bisa diam memerhatikannya.

“Kalau gue bilang, hati gue sebenarnya nggak pernah berubah, apa elo bakal percaya?”

“Tunggu, biar gue perjelas. Maksud lo nggak pernah berubah di sini itu gimana? Enggak pernah berubah sejak lima tahun yang lalu?”

Lilis bukan hanya berhenti tersenyum, wajahnya bahkan sudah pias sekarang. “Sebenernya kedatangan lo ke sini mau nemenin gue jagain toko atau ngasi pertanyaan aneh dengan niat mojokin gue, sih?”

“Udah jelas gue mau nemenin lo,” jawabnya. “gue cuma mau tau perasaan lo. Apa salah kalau gue memastikan perasaan pacar sendiri?”

Lilis tidak bisa bicara. Lidahnya kelu, sangat sulit mengatakannya. Bukannya dia tidak mau jujur tapi membicarakan masa lalu memang hal yang paling sulit. Membicarakan masa lalu itu bagai membenamkan wajah dalam perasan air jeruk. Alih-alih dikeruk, luka itu justru dipupuk.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang