05 | Mengingat Satu Nama

166 52 54
                                    

Waktu memelihara segala kemungkinan.

And about you, mungkinkah kita akan dipersatukan waktu?

...

“INI sama sekali nggak lucu, Re” Perempuan itu menyentakkan kakinya kesal, tapi usaha itu masih belum cukup untuk meraih perhatian laki-laki yang kini tengah sibuk dengan bola basket di tangannya. “Aku jauh-jauh dari Indramayu, datang ke sini buat ketemu kamu tapi malah disuruh pulang. Apa kita nggak bisa bicara serius?!”

Yang dipanggil Re itu tetap mengabaikannya. Laki-laki itu masih sibuk memantulkan bola di atas lapangan. Perempuan itu beruntung karena guru sekolahnya hari ini rapat dan dia bisa memaksanya untuk bertemu di sekitaran rumahnya. Kalau tidak, perempuan itu akan nekat datang ke rumahnya atau yang lebih parah, dia akan pergi ke Bandung.

Tidak, laki-laki itu tidak ingin perempuannya di Bandung bertemu dengan perempuan ini.

Terlalu beresiko.

Dia berlari kecil beberapa langkah dari tempatnya semula, lantas melemparkan bola basketnya tepat di luar kotak.

Shoot.

Tiga angka tercetak dalam sekali tembak.
Laki-laki itu bersiul panjang, dalam hati ia bertanya-tanya, Kenapa bukan dia saja yang jadi kapten basket tahun ini? Kenapa harus ada pergantian kapten saat dia beranjak naik kelas dua belas?

Hadeh.

“Re, aku mau ngomong!” perempuan itu akhirnya menjerit kesal. Suaranya bergema dalam lapangan basket indoor tersebut. Dia sebenarnya tidak suka konfrontasi terang-terangan, dia tahu kalau lawan bicaranya bukan orang yang bisa ia lawan. Namun kali ini kesabarannya sudah habis. Jauh-jauh dia datang ke Jakarta dari Indramayu, berharap temu tapi malah berujung berseteru.

Diusir saat baru bertemu bukanlah hal yang bisa dia toleransi.

Laki-laki itu menahan bola orange di tangannya agar berhenti memantul. Lalu menghadap pada perempuan yang sedari tadi mencak-mencak tak karuan. “Ngomong aja, dari tadi elo ngapain? Qasidahan?”

Jarak mereka yang tidak terlalu jauh, membuat laki-laki dapat melihat jelas, sekeras apa raut muka dari lawan bicaranya.

“Aku jauh-jauh dari Indramayu mau ketemu kamu, tapi malah disuruh pulang. Mau kamu apa sih? Apa perlu aku temui dia dan ngelarang dia secara terang-terangan supaya pergi jauh-jauh dari hidup kamu?!”

“Lo gila?” balas laki-laki itu dengan tampang polos. “Lo bahkan bukan siapa-siapa gue. Nggak usah bersikap seolah lo korban cinta di sini.”

“Re!” Perempuan itu menjerit keras. Dia mulai lelah karena diperlakukan semena-mena. Padahal, siapa yang dulu berjanji akan selalu bersama dan menautkan jari kelingking bahwa akan saling menjaga rasa di dalam dada?

Karena pekerjaan orang tuanya yang memang harus selalu berpindah-pindah, membuatnya kehilangan kesempatan untuk bisa bersama laki-laki di hadapannya ini. Lalu siapa sangka, setelah kepindahannya ke Bandung lalu berpindah lagi ke Indramayu, Laki-laki itu menemukan sosok baru yang sangat ia puja dan ia elu-elukan namanya.

“Aku sayang sama kamu, apa masih kurang jelas?!”

“Jelas sih sebenernya.” Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi dari gesturnya perempuan itu tahu, ia belum menang. “Tapi gue udah nggak punya perasaan apa-apa sama lo. Kedatangan lo ke sini, nggak akan merubah kenyataan kalau hati gue udah kecantol sama cewek lain.”

Perempuan itu menangis sesegukan. Dia benar-benar tidak menyangka kalau laki-lakinya—seharusnya miliknya—berkata sejahat itu padanya. “Kenapa?” Dia bertanya-tanya kenapa? Apa yang salah darinya? Dan kenapa justru harus perempuan itu yang memikat hatinya.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang