49 | Belajar Mengiklaskan

21 3 0
                                    

Dengan sama-sama saling memaafkan, bukan berarti kita kalah ataupun menyerah. Tapi dibanding segala hal yang ada, berdamai adalah cara terbaik kita membuat semuanya tuntas tak bersisa.

•••


Seperti danau tanpa riak yang biasanya menyimpan bahaya di dalamnya, bagi Gadis keadaan saat ini pun terlalu damai untuknya.

Dua bulan berlalu, Louis sudah terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya, pun Lilisia yang mulai terlihat senyum manisnya setiap bertemu dengan Gadis. Bagi Faisal yang terlalu mengenal Lilisia, ia paham kalau seorang Key Lilisia saat ini tengah membangun kembali benteng pertahanannya yang baru saja rubuh.

Baik Louis maupun Lilis sama-sama berusaha menutupi luka yang tak butuh waktu sebentar untuk sembuh.

"Gadis? Hallo?" Aldo melambai-lambaikan tangannya di hadapan Gadis, berusaha menarik atensinya.

"Eh iya, Do?" Aldo tersenyum sampai terlihat giginya ketika Gadis telah sadar dari lamunannya. Sejujurnya, meski Aldo tidak terlalu mengerti permasalahan yang terjadi, Aldo juga mengkhawatirkan Gadis. Ia penasaran, tapi tak berusaha mengulik kebenaran. Bagi Aldo, itu urusan mereka, tak wajib dirinya tahu segala hal meski ia juga bagian dari mereka.

"Lo ... udah lihat tulisan tentang lo yang di tempel di mading? Anak-anak pada heboh liatnya, tuh."

Gadis tak tahu menahu mengenai hal itu, namun mendadak perasaannya tak enak. Seolah bahaya dalam air tanpa riak telah muncul kepermukaan setelah lama melihat mangsanya diam. Segera ia bangkit untuk melihat sendiri tulisan yang Aldo maksud.

Saat melihatnya sendiri, tubuh Gadis menegang. Ditulis dengan huruf super besar besar di kertas putih menggunakan spidol berwarna merah, penuh kebencian dan bersifat menghancurkan sang pemilik nama.

GADISHYA PEMBUNUH.

Kalimat itu ia baca berulang kali dan berulang kali pula membuat kuduknya berdiri.

Di belakang Gadis, ada seseorang yang mengepalkan tangannya kuat-kuat karena sadar siapa yang telah melakukan hal ini. Saat Gadis berbalik, dapat Gadis lihat seseorang itu adalah Louis yang sorot matanya penuh amarah, siap meledak saat itu juga.

"Louis?" Louis tidak mengubris panggilan Gadis, matanya menyapu sekeliling, memperhatikan satu pesatu wajah yang sedang menghakimi Gadis, sebelum gelagak amarah itu terealisasikan.

"DASAR PENGECUT, KENAPA BERANINYA CUMA NULIS BEGINIAN DI SINI?!"

Semua orang di sana kaget, termasuk Gadis. Tak pernah mereka bayangkan seorang Louis bisa berteriak penuh dengan amarah. Seketika, semua terlihat menciut. Namun, bukan itu yang Gadis pedulikan saat itu. Gadis berusaha menggapai tangan Louis, tapi laki-laki itu tak bergerak barang secentipun.

"SEKALI LAGI GUE BACA TULISAN KAYAK BEGINI, BERHADAPAN SAMA GUE!" setelah mengatakan itu, barulah Louis menuruti tangan Gadis yang menyeretnya keluar dari kerumunan, tidak dipedulikannya tatapan tidak percaya di sekitarnya.

Tanpa Louis dan Gadis sadari, Karin berdiri di sana, menatap keduanya dengan sorot terluka. Entah kenapa, melihat Gadis tetap memiliki tempat berlindung setelah berkali-kali ia sakiti dan ia buat hancur, tetap selalu ada satu persatu yang datang mengumpulkan pecahan pecahan Gadis yang sudah ia buat berserakan.

Karin sudah kalah.

Maka, tidak ada jalan lain lagi untuknya selain merasakan pahitnya kesepian dan pedihnya kehilangan seorang diri. Ia akan memilih melangkah ke belakang lebih jauh setelah rencana terakhirnya, Karin akan pergi dan tak kembali lagi.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang