27 | Mari Mencoba Bicara

47 24 0
                                    

Senyummu yang paling tak mampu aku pahami. Kau beri aku, tempat yang paling kelabu.

Segala yang ingin terkata, akhirnya hanya bermuara pada satu tanya; kita ini akan berakhir seperti apa?

...

TIDAK banyak kata yang mereka habiskan. Keduanya diam, senyap, hanya sesekali melempar tanya, pun dengan jawaban yang sangatlah singkat. Seperti persetujuan, Lilis sampai di tempat tujuan dengan selamat.

“Kenapa turun di sini? Lo nggak mau ganti baju dengan pulang ke rumah dulu?” tanya Refan saat mobilnya terparkir sempurna di depan minimarketnya Lilis.

“Iya, gue mau langsung kerja,” jawabnya yakin.

Keputusan Lilis sudah mutlak dan Refan memang tidak punya hak apa-apa. Baginya, Lilis bersedia diantar pulang pun sudah menjadi sebuah keajaiban. Ia cukup tahu diri untuk hal lebih. Setelah melepas safety belt, Lilis mengucapkan terima kasih sambil berlari kecil memasuki minimarketnya.

Namun, hanya beberapa langkah ia ada di dalam, Lilis merasa ada sesuatu yang terlupa.

Teh Lilis udah pulang?” tanya seorang anak cewek yang kelihatannya jauh lebih muda darinya. Wajahnya oval, bulu mata lentik, alis tebal, dan senyum yang menawan sebagai bukti nyata bahwa ialah Faisal kedua versi perempuan. Di belakangnya ada Mauren, sang Bunda yang tersenyum hangat padanya sambil tangannya menenteng keranjang belanja.

“Iya, Tyas, baru aja.” Dia usap kepala Tyas dan anak itu tidak pernah mempermasalahkannya. "Bunda belanja apa?" tanyanya lanjut yang mana tujuannya kepada Mauren.

Lagi-lagi seulas senyum membingkai wajah dengan usia empat puluhan itu. "Iya, sekalian ngecek minimarket kamu."

Lilis mengaruk belakang kepalanya tak nyaman. Ia tak pernah ingin merepotkan keluarga Abimana, tapi Bunda dan Faisal selalu menawarkan diri tanpa ia pinta, lalu punya hak apa ia untuk menolak paksaan mereka?

"Makasih, Bun."

Mauren mengelus sayang pucuk kepala Lilis yang sudah seperti anaknya sendiri itu. "Bertahun-tahun berlalu tapi kamu masih aja sungkan sama kebaikan Bunda, kenapa?" Tangan itu berhenti di helaian rambutnya kemudian menyisirinya. "Rambut kamu lepek, kamu jarang ke salon, ya?"

Lilis menanggapinya dengan cengiran. Akhir-akhir ini ia malas ke salon dan membenahi rambut, baginya keramas di rumah sudah lebih dari cukup. "Bunda lanjut aja milih-milihnya, ya."

Setelahnya Lilis menjauh dari Mauren dan Tyas tapi raut mukanya masih sama seperti pertama masuk toko. Ia merasakan sesuatu yang mengganggunya dan baik Tyas maupun Mauren sama-sama menyadari hal itu.

“Kenapa, Teh?” tanya adiknya itu dengan raut heran.

“Eh?”

Teteh katingal bingung, aya hilap?”

Tyas ini suka sekali berbahasa daerah walau hanya sedikit-sedikit, sangat beda dengan kakaknya, Faisal.

Lilis menanggapinya dengan tersenyum kemudian menggeleng. Ia masih harus mengorek-orek brankas dalam dirinya tentang apa yang membuatnya agak kebingungan. Akhirnya, ia pun teringat dengan tasnya yang seenak jidat dia tinggalkan di mobil Refan. Pantas saja bahunya terasa ringan. Tapi, ya, sudahlah. Besok saja dia mengambilnya karena kebetulan besok adalah weekend.

“Tyas tadi mau beli hot chocolate sachet, makanya belanja kadieu.” Ia menunjuk keranjang belanja di tangan bundanya, menunjukan apa yang dia beli pada Lilis. “Karena udah selesai, Tyas pulang, ya, Teh?”

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang