36 | Kali-kali Tak Terduga

36 18 0
                                    

Selalu ada alasan dari setiap perjumpaan.

Untuk mengawali pertemuan.

Atau sebagai kenangan kala jadi perpisahan.

...

GADIS mengikuti perempuan tadi, mengintip lewat celah sempit yang tercipta antara kusen dengan pintu. Dari sana, Gadis tidak dapat melihat seluruh isi ruangan. Dia hanya bisa melihat kalau perempuan yang diikutinya tadi adalah Lilis.

Gadis tidak melihat jelas wajah pasien yang dijenguk. Satu yang pasti dia ketahui, orang itu adalah wanita dengan rentang usia empat puluhan. Lilis bicara pada wanita yang sedang duduk di atas ranjangnya, pembicaraan mereka terlihat sengit.

“Saya bilang pergi!”

“Ma, please. Jangan kayak gini terus, aku ini anak Mama,” ujar Lilis penuh penekanan saat menyebutkan dirinya ‘anak’.

“Mama? Mamanya Lilis kenapa?” Gadis membatin bingung.

“Saya bilang pergi!” Wanita itu masih bersikeras. “Saya yakin kamu pasti bisa hidup tanpa saya dan ayah kamu. Iya, pasti bisa. Pasti bisa. Saya juga pasti bisa tanpa dia. Pasti bisa.” Dan setelahnya, wanita itu terus menggumamkan kata: pasti bisa. Berkali-kali hingga akhirnya tenang saat Lilis membawa wanita itu dalam rangkuman tangannya.

Gadis menegakkan tubuhnya. Dia ingin pergi, tapi entah kenapa, kakinya malah menghianati otaknya.

Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Lilis menatap Gadis syok. Sepertinya dia terkejut dan Gadis pun sama terkejutnya, tapi bukan karena presensi Lilis di hadapannya. Gadis mematung setelah melihat wanita yang duduk di ranjang itu.

Wanita yang sama!?

•••

“Saya mohon bantuannya untuk Louis, ya?”

Om Wisnu memohon padanya tapi Gadis tidak bisa bicara untuk mengiyakan ataupun menolak, karena tidak ada yang dia mengerti sama sekali. Maksudnya adalah, mengapa dia ingin putranya sendiri menjadi semakin jauh dengannya.

Kemudian, Wisnu menyerahkan selembar foto seorang wanita yang mungkin seusia mamanya. Meski tetap saja itu tidak memberikan jawaban untuknya.

“Dia istri saya.”

“Hah!?” Gadis tersentak kaget.

Wisnu menghela napasnya dengan berat, lalu menghembuskannya keras. “Dewinta adalah istri saya setelah Diana. Waktu itu saya mabuk berat sampai melakukan kesalahan dengan seorang wanita yang bukan istri saya.” Pria itu meraup wajahnya kasar. Sekilas Gadis dapat melihat betapa frustasinya beliau.

“Wanita itu hamil dan mau tak mau Anda harus menikahinya, begitukah?” tanya Gadis berasumsi.

“Waktu itu saya berniat mengadopsi anak itu sebagai anak dari Dewinta, tidak peduli meski wanita itu menolak. Tapi Diana juga hamil tidak lama setelah itu, jadi saya pun mengurungkan niat saya. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah menyisihkan waktu saya seminggu sekali untuk menjenguk Dewinta dan anaknya. Meski hubungan kami adalah sesuatu yang salah, tapi saya benar-benar jatuh cinta pada anak perempuan itu." Om Wisnu menatap langit biru dengan wajah haru. "Dia anak perempuan saya yang manis.” Dalam bola matanya, Gadis bisa melihat kerinduan teramat dalam yang tersemat di sana.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang