Jika ada yang ingin dikatakan, maka segerakan.
Kenanti-nantian hanya akan membuat berantakan karena telah menjadi keterlambatan.
...
DARI kejauhan dia sudah bisa mengenali sosok laki-laki bertubuh tegap yang tengah duduk di meja bundar. Ia duduk menghadap ke kaca besar yang menyuguhkan pemandangan dari cahaya kuning kemerah-merahan kota Bandung saat petang.
Diambilnya napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki menuju laki-laki itu. Dengan santai, ia menyapa, "Hai." dan dibalas, "Sudah sampai, ya?" Sebagai bahan basa-basi. Kemudian, mengambil tempat duduk berhadapan.
Wajah Refan tidak berseri-seri seperti biasanya. Jelas terlihat kalau raut mukanya menyimpan kebingungan yang sangat kentara tapi susah payah ia sembunyikan. Refan sudah lupa kapan terakhir kali dia bisa duduk berdua seperti ini bersama Key Lilisia. Ah, lima tahun. Waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan keberanian mebicarakan lagi luka lama.
Kalau saja waktu itu Gadis tidak memaksanya, memberinya wejangan, dan mendukungnya penuh, maka hari ini tidak mungkin akan terjadi. Masih ia ingat wajah memerah karena marah dari Gadis, bukan karena kesalahannya tapi pada sifat pengecutnya yang masih diam dan membiarkan air mengalir sampai sekarang. Bodoh. Bodoh sekali kalau dia berpikir air itu akan tenang dan takan keruh setelah lama mengaliri sungai berkelok.
Jangan salahkan Refan, karena sejak kecil didikannya memang seperti ini. Dia tak pernah tahu bagaimana cara menyuarakan apa yang dia inginkan karena sejak kecil tidak ada yang boleh dia inginkan. Semua sudah diatur, ditentukan sedemikin rupa untuknya dan Refan tidak punya hak untuk membantah ataupun mengajukan pendapat. Seandainya hari itu dia berani menolak ayahnya, mungkin Lilis tidak akan marah padanya hingga hari ini. Tapi, laki-laki itu tak tahu kilas balik sebenarnya dari menjauhnya Lilis selama ini. Sesuatu yang lebih besar yang tidak pernah Refan duga.
Lilis melambaikan tangan pada pelayan kafe. "Satu lemon tea dan satu coffe milk. Lo masih suka itu 'kan?"
Refan tersentak karena gadis itu masih ingat minuman kesukaannya. "I-iya."
Lilis menatap Refan. Diperhatikannya lamat-lamat wajah yang lima tahun ini dia kungkung kebencian. Sekali lagi, ia tersadar bahwa ucapan Faisal untuknya ada benarnya.
"Kamu bisa jelaskan sesuatu sebelum pesanannya datang," ucapnya dengan sapaan aku-kamu seperti sapaan mereka dulu tanpa melihat lawan bicara.
Refan menunduk, mungkin memang saatnya masalah ini di luruskan. "Ya, gue tau." Refan mengerti situasi, tangannya tak tenang. Ingin rasa hati menggenggam tangan Lilis agar dia dapat merasakan kesungguhannya, tapi tak dia lakukan.
"Pak Yuda, oh, bukan. Ayah gue." Lilis menoleh, dilihatnya wajah Refan tertunduk.
"Lo tau sejak dulu gue nggak pernah suka sama ayah, karena meski dia selalu bilang 'demi kebaikanmu' tapi yang ia lakukan tak lebih menciptakan robot dari manusia. Gue capek, ingin sesekali rasanya membangkang dan hari itu gue mencobanya."
Sekali lagi, rasa menyesal masih menyesakkan dadanya. "Saat ulang tahun lo, gue pikir bisa melanggar segala aturannya. Gue pikir dengan alasan janji sama lo, gue bisa menolaknya untuk tidak latihan di hari Rabu seperti biasanya, tapi ternyata gue salah." Refan berusaha mendekat, dengan susah payah, akhirnya tangannya mampu juga untuk menggapai tangan Lilis.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Together
Teen FictionAda banyak cara untuk bersama. Sebagian akan mengejar dan mengatakan secara lantang. Pada sebagian lainnya, berupa amarah dan cemburu yang disembunyikan. Ada yang mengekang ada pula yang masih gamang. Kita telah menemani satu sama lain, menutupi ma...