47 | Di Depan Sebuah Pusara

17 5 0
                                    

Rupanya, dunia memang bukan tentang yang benar atau salah. Karena ketika cinta, kita bahkan tak mampu membencinya meski telah terluka karenanya.

•••

Jika sedikit saja mereka lengah, maka Gadis dan Faisal takan sempat menyambut Louis yang hendak tumbang.

"Bagaimana..." suara itu terdengar lemah di telinga Gadis. Ia sama sekali tak membayangkan kalau semuanya akan jadi sekacau ini.

Akan tetapi, kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir Louis membuat Faisal dan Gadis sama-sama kebingungan. Ia bertanya, "Bagaimana Bunda bisa tahu semuanya?"

"Lou..."

"Louis ... udah tau?"

"Sejak kapan?"

"Bagaimana bisa?"

Dan tidak satupun jawaban itu dijawab oleh Louis, nyawanya seolah terbang melanglang buana entah ke mana. Gadis kembali mengguncang tubuh Louis, memberinya atensi agar melihat ke arahnya saja.

"JAWAB LOUIS!"

Mata Louis dan Gadis saling berpandangan, laki-laki itu pun akhirnya menjawab, "Sudah sejak lama. Makanya gue segitu bencinya sama bokap."

"Dan lo juga udah tau kalau Lilis sodara lo?" tanya Faisal.

Dan ketika Louis mengangguk, Gadis merasa kini dirinya yang lemas. Ia jatuh terduduk di atas tanah berumput tanpa daya upaya. Dengan pelan, mulutnya berusaha bersuara, bercerita tentang segala hal yang terjadi selama ini.

Perjanjiannya sebenarnya dengan Wisnu, pertemuannya dengan Lilisia di Jakarta, juga Karina yang tahu semuanya beserta segala ancamannya. Kini, semuanya menjadi jelas. Terbuka dengan begitu lebarnya di depan mata Louis.

Kini Louis memegangi kepalanya, merasa pusing sehabis menerima informasi yang begitu banyak untuk diterima otaknya.

"Om? Sejak kapan Om di sini?"

Om? Louis bertanya-tanya siapa om yang Gadis maksud. Dan dari segala kemungkinan yang muncul di kepalanya, tebakannya tepat sasaran. Wisnu kini berdiri di depannya, dengan tatapan mata yang sulit di artikan.

Susah payah Louis berdiri, berusaha menumpukan tenaga pada sepasang kakinya yang sebelumnya terasa lumpuh. Louis menghela napasnya berat-berat sebelum bertanya, "Ada apa?"

"Maaf."

"Maaf?" mata Louis membola, menatap tidak percaya pada laki-laki yang ia sebut ayah selama ini.

"Ruang kerja saya berubah dan Diana membantu saya berkemas. Tanpa sengaja, ia menemukan foto kecil kamu dan Lilisia yang saya jadikan satu bingkai. Itulah sebabnya, saya tidak bisa menutupi semuanya lagi dari Diana."

Louis diam tertunduk. Tak ada lagi yang sanggup keluar dari bibirnya, karena sejak awal ia tahu ini semua akan terbongkar. Bahwa kekacauan ini, memang cepat atau lambat akan terjadi juga akhirnya.

•••

Dengan langkah terpatah-patah, susah payah Louis mengangkat dan menginjakkan kakinya untuk pulang ke rumah yang entah terlihat seperti rumah yang bagaimana. Karena sudah sejak lama, seandainya bukan karena Bunda, maka rumah itu asing baginya.

Pemandangan seperti biasa yang ia lihat, Bunda yang sibuk berkebun di taman samping rumahnya tapi dapat terlihat dari ruang tamu karena sekat yang berupa kaca tembus pandang.

"Bun ...."

Napasnya tercekat.

"Bunda ..."

Susah payah ia menyebut wanita yang melahirkannya.

About TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang