Apa arti rumah yang sebenarnya?
Jeno tidak tahu.
Dulu Jeno mempunyai 'rumah' yang begitu hangat yang hanya diisi oleh kebahagiaan dan tawa.
Namun rumah itu hilang dalam sekejap. Menghancurkan hatinya bahkan dunianya kini tidak seindah dulu.
Jeno keh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Haechan sudah duduk di salah satu kursi di sudut cafe saat Jeno datang.
Kemarin malam Haechan menelpon dan mengajak bertemu. Jadi saat pulang kerja Jeno langsung menemuinya.
Sudah 3 hari sejak Jeno mempertemukan lagi Lia dan Kalila. Sejak hari itu Jeno dan Haechan juga tidak terlalu sering menghubungi. Bukan apa-apa, keduanya hanya sedang sibuk. Jeno yakin hubungannya dengan Haechan baik-baik saja, ia hanya belum bisa menemui lagi Lia untuk saat ini.
"Kalila gimana? Dia baik-baik aja?" Tanya Haechan membuka pembicaraan.
Jeno mengangguk, "Dia sekarang di apartemen gue yang dulu."
"Lo.. gak berniat balik lagi ke rumah kita?"
Helaan nafas keluar dari mulut Jeno, "Buat saat ini kayaknya belum, Chan. Gue gak bisa biarin Kalila tinggal sendiri di Apart gue. Terus lo tau sendiri kan Lia belum mau ngakuin kesalahannya, jadi gue juga gak bisa balik kesana kalo nggak sama Kalila."
Haechan tersenyum pahit, "Jen, sejak hari dimana lo pergi nyari Kalila, sebenernya kesehatan mental Lia nggak stabil."
"Dia sering nangis histeris, dia hampir gila karena lo gak balik-balik. Lia juga sering nyakitin dirinya sendiri."
Raut wajah Jeno berubah cemas.
"Gue udah bawa dia periksa ke dokter."
"Apa kata dokter?"
"Katanya dia punya mood disorder."
Jeno tiba-tiba merasa bersalah karena terlalu keras pada Lia.
"Tenang aja. Itu penyakit yang umum terjadi kok. Cuman ya gitu, kadang dia merasa bahagia banget sampe beli apapun yang dia mau, tapi kalo udah sedih dia bakal nangis seharian. Satu hari gue pernah mergokin dia lagi nyakitin dirinya sambil nangis." Haechan tersenyum kecut, "Waktu itu hati gue hancur liat dia."
Jeno terdiam. Ia tidak tahu Lia mengalami hal seberat itu.
"Makanya waktu dia liat Kalila kemarin dia kaya gitu. Bagi Lia sekarang Kalila itu bahaya terbesar buat dia, ketakutan yang gue pun gak ngerti."
"Sorry, gue gak seharusnya bentak Lia kemaren."
"It's okay, lo belum tau. Lo juga harus ngelindungi Kalila, dia sekarang pacar lo kan?"
Jeno mengangguk, membuat Haechan kembali tersenyum kecut. Bukan karena ia tidak senang. Haechan bahagia karena Jeno akhirnya membuka hatinya untuk orang lain. Tapi jika Lia sampai tahu, ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada gadis itu.
"Lo udah bawa dia ke psikiater?"
"Udah. Tapi Lia gak mau psikoterapi. Jadi dia cuman rutin minum obat anti-depresan."
"Ale.. dia gimana? Dia baik-baik aja?"
Haechan mengangguk, "Untungnya baby sitter yang waktu itu bisa dipercaya. Jadi Ale aman, dia cuma belum bisa dulu ketemu sama Lia."