Bab 1 | Dongeng Kecil

276 32 7
                                    

Biru di pelupuk mata melambaikan kicau burung. Detik ini, hangat menyengatku samar-samar. Aku sedang berjalan kaki sementara sepeda berada di gandenganku. Ini adalah waktu yang tepat untuk memulai semuanya. Kupikir, gulungan ombak di masa depan akan diawali dengan kepulanganku dari pasar loak.

Aku memarkir sepeda di dekat pot-pot bunga. Aku melepas sepatu dan melompati jendela; menaiki tangga dan sampai di kamarku, di mana kasur dan kawanannya menyambutku. Aku mengabaikannya untuk saat ini. Mereka akan kubutuhkan ketika malam hari. Aku mendekati kursi dan menariknya, kemudian aku duduki.

Saku celanaku penuh, mereka keluar satu per satu dan berbaris di atas meja belajar. Sisa-sisa koin, bungkus permen karet, dan satu benda baru yang kudapat dari pojok pasar loak. Pak tua di bawah terpal biru membuatku menjumpai sepotong kain dengan titik-titik noda cokelat itu.

Sebelumnya, pak tua berbisik sambil mengajakku ke pojok untuk menunjukkan sesuatu. "Aku punya sihir yang akan membawamu ke masa lalu," ujarnya. Kemudian, ia membuka kotak kayu itu dengan sebatang besi. Seketika bau yang khas itu menyeruak dan mengelus hidungku. Sinar matahari menunjukkan debu-debu yang berkeliaran tepat setelah kotak itu terbuka.

Aku melihat banyak benda-benda lama yang entah milik siapa. Katanya, pak tua ingin menyingkirkan rongsokan itu. Ia menunjukkan semua isi kotak itu kepadaku. Kondisi benda-bendanya kebanyakan masih bagus, hanya saja berdebu dan memiliki bau yang agak menarik. Namun, tidak ada satu benda saja yang mencuri minatku.

Dari panci sampai jam weker, gelas keramik, dan telepon antik telah tampil bergantian di depanku. Hingga pak tua pikir, tidak ada lagi benda yang tersisa di dalam kotak. Dia berharap supaya aku mau membeli satu barang saja.

Ah, aku enggan.

"Kenapa kau menawari benda-benda ini kepadaku? Aku tidak begitu mengagumi perabotan antik."

"Dari penampilanmu, kupikir kau akan terpikat dengan hal-hal seperti ini."

"Memangnya, seperti apa aku di matamu?"

Pak tua menggosok-gosok dagunya. Matanya memandangiku dari ujung sepatu sampai ujung rambut. "Kau seperti pria tua," ujarnya.

"Pria tua sepertimu? Aku ragu."

Pak tua nampak resah. Mungkin dia belum mendapati secarik uang di sakunya. Sambil mengembuskan napas berat, ia kembali memasukkan benda-benda antik itu ke dalam kotak. Aku tidak tega melihat wajahnya. Jadi, aku memutuskan untuk sekali lagi melihat tumpukan barang antik itu.

Di pojok kotak kayu, gumpalan kain tengah meringkuk. Mulai terlintas sebuah dugaan mengenai benda yang mendiami sudut itu. Aku memasukkan tanganku ke kotak, dan aku meraih kain itu. Sudah kuduga, ini adalah hal yang melintas di benakku.

Pak tua terkesiap melihat untaian kain yang kugenggam. Tidak lama setelah itu, aku menyaksikan ekspresi serupa begitu pak tua menyadari ketertarikanku. "Kau menyukai ini?" Tanya pak tua. Aku tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Aku tidak mau seorang pun menilaiku dengan buruk. Tidak menjawab pertanyaannya adalah hal yang paling mudah kulakukan.

Meskipun begitu, aku tetap tidak bisa menyembunyikan binar-binar di wajahku. Bukan artinya aku mendukung pergerakan ini. Jangan sekali pun berpikir bahwa aku adalah sosok fanatik yang suka memuja--ini akan berkontradiksi dengan pernyataanku tadi, bahwa aku tidak begitu tertarik dengan benda antik. Untaian kain ini terasa berbeda, tidak seperti perabotan rumah tangga--melainkan hanya terpukau dengan kelangkaan benda semacam ini.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang