Tidak ada seorang pun di rumah. Aku benar-benar sendirian. Ibu meninggalkan secarik kertas di atas meja makan. 'Aku pergi ke perkumpulan merajut,' Itu tulisnya, dan juga terdapat piring di sebelahnya, tapi telah kosong. Hanya tersisa remah-remah biskuit yang berserakan.
Ah, kacau sekali. Ternyata, biskuit-biskuit itu tidak pernah habis dimakan. Mereka bertebaran di lantai dapur. Remah-remahnya membuat kakiku merasa risih ketika memijak lantai. Rasa kesalku pun menggebu.
Aku sedikit melangkah melewati meja makan. Aku menemukan segelas susu yang tersisa. Seharusnya segelas susu itu untukku, bukan? Ibu selalu menyiapkannya ketika aku pulang sekolah.
Masih terpikir olehku mengenai si pengacau meja makan. Tidak mungkin ayah yang jarang sekali pulang, atau ibu yang fanatik dengan kerapian. Oh, aku baru ingat. Kami selalu meninggalkan Bondi--anjing kecilku--di rumah. Baru saja aku mendengar gonggongan manisnya. Aku juga bisa mendengar suara hentakan kaki kecilnya, dan suara gemericik lonceng yang berayun-ayun.
Sungguh sulit rasanya untuk memercayai bahwa anjing kecil itu yang bertindak sebagai pengacau. Bondi tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Kegiatan kesukaannya adalah berguling di atas bantal, bukan melempar-lempar biskuit dengan mulutnya.
Terdengar janggal, seperti ada seseorang yang sedang mengajak main anjingku. Biasanya Bondi selalu berlari ke arahku ketika aku membuka pintu. Tapi untuk hari ini, ia tidak melakukannya. Tentu, ia pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Itu hanya terjadi jika ada orang lain di rumah yang mengajaknya bermain. Biasanya ibu. Aku yakin betul, saat ini tidak ada siapa-siapa di rumah. Hanya aku. Lalu, dengan siapa anjing itu bermain?
Pikiranku mulai menjelajah. Aku dibawa terbang untuk mengintip bilik-bilik karanganku. Bisa saja ada penjahat bertopeng yang membobol rumah, 'kan? Paling buruknya, jika ia juga memikul senjata bersamanya. Aku mulai berpikir mengenai apa yang harus kulakukan. Mataku bergulir ke setiap sudut ruangan. Beruntungnya aku menemukan tongkat golf milik ayah di dekat pintu.
Aku mulai melangkah menuju suara Bondi berasal. Di tengah-tengah langkah, aku mulai gentar. Aku mendengar cekikikan melengking dari kamarku. Ah gawat, dengan siapa aku harus berhadapan? Aku mulai menggambarkan rupanya di pikiranku. Yang melintas adalah sosok ringkih, berbadan macam sebatang lidi dan menjulang tinggi. Aku harus membuyarkan rupa itu. Aku tidak boleh takut. Aku kembali meyakinkan diriku bahwa yang tertawa barusan hanyalah si pembobol yang menakut-nakutiku.
Aku melangkah pelan dan meninggalkan jejak-jejak basah dari kaus kaki. Untuk sekarang ini aku tidak peduli jika nanti ibu akan marah menyaksikan lantai becek. Perhatianku hanya tertuju kepada suara tertawa melengking yang berasal dari kamarku.
Aku berhenti di depan pintu kamarku yang tertutup rapat. Dari bawah sela-sela pintu, aku melihat sesuatu yang nampak mondar-mandir. Benar, ia tidak sendirian, Bondi bersamanya. Sekali lagi suara tawa itu terdengar. Tidak pernah terpikir olehku, bahwa aku akan ketakutan mendengar suara tawa melengking. Siapa pun pemilik suara itu, kuharap ia tidak bertujuan untuk melukaiku.
Kakiku gemetar, jantungku berdegup kencang. Ya, aku sedang ketakutan. Perlahan aku memutar kenop pintu, dan akhirnya terbuka. Ada sosok lain di sana. Ia berdiri di seberangku. Pucat, matanya kosong. Tidak lama setelah mata kami bertemu, ia menyeringai. Rasanya untuk sekedar menggerakkan jari saja sulit sekali. Ia membuatku membeku. Aku melangkah mundur.
Tiba-tiba saja otak ini bekerja dengan lambat. Aku tidak paham mengapa sosok itu unjuk gigi lagi. Kukira ia telah angkat kaki dari hidupku. Sial, seluruh tubuhku menjadi dingin. Aku tidak pernah merencanakan pertemuan ini. Sekali lagi aku mengintipnya dari pintu. Namun, ia tidak lagi berdiri di sana.
Kamarku kosong. Bondi tidak lagi berlari dan menggonggong. Anjing itu menghampiriku dan menggigiti ujung celanaku. Pada akhirnya aku bisa bernapas lega. Hanya sebentar, hingga sosok itu muncul lagi di hadapanku. Kemunculannya lagi-lagi mengagetkanku. Leherku terasa tercekik. Mulutku kaku, tidak mampu berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Misteri / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...