Bab 13 | Hamparan Kuning

67 11 0
                                    

Aku berdiri di tengah ladang gandum. Jauh di sana terlihat rumah kincir angin. Sedangkan di sebelah sana ada pagar kayu. Burung berkicau, langit sangat cerah. Aku sedang berdiri di antara lautan kuning yang bisa melambai-lambai mengikuti angin. Ini adalah ladang gandum yang luas, dan juga begitu sepi.

Aku melangkahi gandum-gandum yang menguning. Pagar kayu di sisi ladang adalah tujuanku. Bukan kayu-kayu berwarna cokelat itu yang menarik perhatianku, melainkan ada seseorang yang menaiki pagar dan terduduk di atasnya.

Si bocah bertopi itu memunggungiku. Aku mendengar siulan dan bunyi gaduh kakinya yang ia benturkan ke pagar kayu. Aku mengumpulkan keberanian dan menyatukannya menjadi gumpalan padat. Aku mendekati punggung berbaju kusam itu. Tanpa perlu aku tepuk, ia sudah menoleh dan memamerkan langit mendung di irisnya.

Rambut pirangnya lurus, banyak helainya, tapi terpangkas rapi,  dan ia menyembunyikannya di bawah topi. Wajahnya pucat pasi, bertubuh ringkih dengan tulang-tulang yang timbul di punggung tangannya.

Aku tidak tahu siapa ia, dan aku tidak tahu apa alasannya datang kepada tubuh yang seharusnya bermimpi di siang hari ini. Untuk bertemu denganku? Wajahnya mencetak kode-kode rumit yang menyembunyikan suatu fakta.

Anak itu menengadah untuk memberikan perhatian penuh kepada gumpalan putih di langit. Dalam sekejap, ia menciptakan sajak-sajak kepada matahari, kemudian matanya bergulir ke arah gandum yang bergerak tertiup angin.

"Aku telah pergi jauh sekali, bahkan aku hampir lupa kapan aku memulai perjalanan itu. Kau tahu? Awalnya akan terasa aneh ketika memantau kehidupan, sedangkan diriku tidak lagi menjadi bagian darinya," ucapnya.

Ada bebatuan di wajahnya, rautnya menjadi kaku. Sedingin badai salju di utara, ia menatapku. Matanya terbuka lebar dan menyuguhkan pertunjukan sirkus dari bilik-bilik neraka.

Ia menarikku kepada horor yang melambung tinggi di kegelapan malam. Namun, kekhawatiranku raib ketika ia memutuskan untuk menghapus kengerian di wajahnya. Senyuman itu kembali terbit di kulit pucatnya. Kalimat mengerikan itu dengan cepat mengalami peralihan ke pertanyaan yang ia ajukan untukku.

Ia bertanya mengenai hari-hari pada musim gugur. Aku menjawabnya dengan kisah di balik syal dan ranting pohon yang melengkung. Kemudian ia bertanya lagi, kali ini tentang hari-hari kemarin. Aku tidak bisa menjawabnya, tidak ada yang berkesan pada hari kemarin dan juga pada hari ini.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu tertarik kepada setiap jawaban yang kuberi. Tidak ada pola-pola tertentu ketika ia memutuskan untuk menjadi sosok yang penasaran. Pertanyaan yang keluar terlihat acak, seperti keluar dari undian yang tidak terduga. Pada akhirnya, ia bertanya soal namaku.

"Siapa namamu?" tanyanya singkat.

Telinganya sedikit mendekat, siap menampung sebuah nama yang sudah lama bersembunyi di akar pohon oak. Aku tidak peduli seberapa tinggi rasa penasarannya, meskipun ada bilangan terbesar yang bisa mewakili pertanyaan darinya, aku enggan memberitahu namaku.

Senyuman pada wajah anak itu perlahan memudar ketika aku menolak untuk menjawab pertanyaan terakhirnya. Aku memutuskan untuk meninggalkannya. Setengah langkah dari sana, dari balik punggungku terdengar deru yang terisak. Aku menoleh sekali lagi untuk memeriksa keadaan anak berkulit pucat itu.

Ia tidak ada, pagar kayu hanya seonggok kekosongan tanpa sisa-sisa darinya. Pikiranku berjalan lunglai, aku mulai mempertanyakan tentangnya yang berada di ambang ketiadaan.

Aku bisa merasakan sentuhan dingin di telingaku. Ia muncul lagi sebagai pemicu dari tergesanya jantungku. Ia menampakkan senyumnya sekali lagi. Iris kelamnya meneror, seakan ia meneriakkan sebuah peringatan. Ia mengeluarkan tangan ringkihnya dari saku, kemudian dia menjulurkannya ke hadapanku.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang