Bab 51 | Lukisan

40 9 0
                                    

Jariku melayang dengan canggung di atas tombol bel rumah, sedikit gemetar. Rumah Tuan Elbert sudah ada di hadapanku. Setelah meresapi jantung yang berdebar-debar, akhirnya aku menekan belnya.

Bunyi gaduh terdengar dari dalam rumah. Setelahnya, jejak kaki mengikuti. Derap langkahnya mendekat menuju pintu. Ia seakan berhenti sejenak di sana, pasti tengah melihatku dari lubang intip. Tidak lama setelahnya, pintu pun terbuka.

"Ini aku, Tuan. Maaf, aku datang tiba-tiba," ucapku.

Tuan Elbert memandangiku sebentar. Mulutnya bergetar, seperti hendak mengatakan sesuatu. Sayup-sayup suaranya terdengar, tetapi tidak dapat aku mengerti. Pada akhirnya ia menggeser tubuhnya dari pintu dan mempersilakanku untuk masuk.

"Aku tidak ingat kau pernah ke sini," ucapnya. Tubuhnya membungkuk, ia berjalan dengan lambat. Ia masih mengenakan sandal tidur berbulu. Tangan kanannya selalu masuk ke dalam saku jubah piyama dan terus gemetaran.

"Ini pertama kali bagiku. Aku bertanya kepada guru-guru lain di sekolah mengenai di mana kau tinggal." Aku mengusap belakang leherku, merasa sedikit gugup. "Maaf, seharusnya aku meneleponmu dulu."

"Tidak apa-apa, waktuku sedang luang. Tenang saja, anak muda."

Aku terus melangkah mengikuti Tuan Elbert. Kami sampai di ruang tengahnya, di sana seorang nenek sedang duduk termenung di kursi roda. Ia ditemani oleh seorang wanita muda--sangat muda, seperti awal dua puluh--dengan sisir kayu di tangannya. Ia tengah menyisiri rambut nenek itu dengan perlahan. Ketika aku terdiam memandang ke sana, wanita muda itu tersenyum.

"Ah, itu Greta, ia membantuku merawat istriku," ucap Tuan Elbert. "Dan itu istriku." Tuan Elbert berjalan menghampiri istrinya. Ia berhenti di sisi kursi rodanya, dan berucap tepat di telinga wanita tua itu. "Pemuda itu adalah anak muridku dulu. Ia pandai melukis, kau pasti juga akan suka dengan hasil tangannya, Hilde, karena kita selalu menyukai hal yang sama."

Wanita tua itu terdiam dalam tatapannya yang tampak layu. Sebelah wajahnya tampak mengendur dan turun. Ia memandangi jendela yang tertutup embun di hadapannya. Erangan pelan terdengar setelah Tuan Elbert berucap kepadanya. Tuan Elbert tersenyum, ia mengecup dahi istrinya dan mengusap rambutnya.

"Jadi, ada apa, Konrad?" Tuan Elbert kembali berjalan ke arahku.

"Aku hanya ingin berkunjung, Tuan."

"Oh, ya? Tidak seperti biasanya." Pundaknya bergetar, ia tertawa dan memandangiku seperti ia benar-benar tahu, bahwa aku memiliki maksud lain.

Aku menghela napasku dan tertunduk lesu. Aku merasa tidak enak hati dengannya, mengingat terakhir kali dengannya adalah perbincangan hal yang kurang menyenangkan. Sekarang aku malah hadir lagi setelah dulu aku meninggalkannya begitu saja tanpa pamit.

Tanpa harus berkata-kata lagi, Tuan Elbert memahaminya. Setelah memandangiku, ia menoleh kepada Greta. "Tolong buatkan secangkir teh untuk anak ini, Greta," ucapnya. Ia kembali kepadaku, menatap wajah suramku sekali lagi, dan kembali menoleh kepada Greta. "Yang hangat, tolong."

Tuan Elbert terenyuh melihatku, ia mendekat dan mengusap pundakku. "Aku turut berduka cita atas apa yang menimpamu, Konrad," ucapnya.

Aku memalingkan wajahku, enggan peristiwa itu terungkit lagi. Aku memahami Tuan Elbert. Pria tua itu hanya bermaksud peduli kepadaku. Namun, setiap kali sebuah perbincangan mengarah ke sana, rasanya pedih sekali. Sampai-sampai aku bingung bagaimana harus bereaksi, karena diriku tidak sanggup menghadapinya lagi.

"Tuan," panggilku. Pria tua itu berhenti mengusap pundakku. Matanya yang sayu kini mengarah kepadaku lagi. "Bolehkah aku melihat lukisanmu?" tanyaku. "Lukisan kakakmu, yang waktu itu kau lukis di tengah pohon cemara." Tanganku mengepal. "Dan apakah kau mau bercerita kepadaku? Tentu, jika kau berkenan."

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang