Bab 47 | Dari Heinz: Seekor Merak yang Melepas Belenggunya

20 8 0
                                    

Ah, ini kegilaan yang menjijikkan. Akalku tidak habis pikir mengenai peristiwa yang mengelilingi masa mudaku. Pikiranku terus membayangkan semua penderitaan yang Rudolf rasakan.

Aku termenung, dan terus termenung. Tanpa menyentuh sedikit pun hidangan di hadapan wajahku. Setelah mengetahui semuanya, aku kehilangan nafsu makanku.

“Ya, ‘kan, Heinz?” Suara itu datang dengan sendirinya, membuyarkan bayang-bayang gelap di benakku. Itu datang dari ayah yang tiba-tiba bersikap peduli. Karena ayah aku kembali teringat, kami sedang makan malam bersama tamu kami.

Ini adalah bentuk kepura-puraan yang sesungguhnya, di mana ayah dan Marie menyuruh kami untuk bertingkah seolah-olah keluarga harmonis. Ayah mengajakku mengobrol, membicarakan hari-hariku dan menepuk-nepuk puncak kepalaku seperti ayah yang normal, sementara itu Marie sejak tadi mengagung-agungkan Erwin karena pertunjukkan violinnya yang memukau tamu kami.

“Si bungsu ini memang suka melamun!” Ayah tergelak sambil menepuk-nepuk punggungku. Segera ditanggapi oleh tamu kami yang turut tergelak melihat kekonyolan palsu ini.

“Oh, namamu Heinz, ‘kan?” Pria berbalut setelan cokelat itu memandangiku. Ia adalah kepala keluarga dari tamu kami.

Tanganku gemetar di bawah meja, jemariku saling menggenggam. Kepalaku tertunduk, enggan melihat wajahnya. “Ya, namaku Heinz,” ucapku.

“Berapa usiamu?” tanya pria itu lagi.

“Lima belas,” jawabku.

Pria itu memiringkan kepalanya, mencoba mengamati wajahku yang tertutup helai-helai rambut. Menyadari itu, ayah langsung mengangkat wajahku. Sialnya, tatapan mata kami langsung bertabrakan.

“Oh, kau lumayan mirip dengan Rudolf. Bukankah begitu, Marie?” Pria itu tersenyum lebar.

Sangat menakutkan. Sembunyi-sembunyi lidahnya keluar dan menjilati bibirnya sendiri. Bahkan ketika obrolan sudah berganti--tidak lagi tentang aku--pria itu masih memandangiku lewat ekor matanya. Ia adalah mimpi buruk Rudolf, seorang iblis yang bersembunyi di balik jubah malaikat, Klaus Tannenbaum.

Hari itu ia datang bersama istri dan anak perempuannya. Apa yang mereka rencanakan adalah pernikahan anak perempuan keluarga Tannenbaum dengan Rudolf. Aku telah mencium bau-bau ketegangan. Rudolf tidak akan menyukai ini. Karena di sana ada Klaus Tannenbaum, dan juga kenyataan bahwa Rudolf telah memiliki orang terkasihnya sendiri.

Rudolf sedang tidak ada di rumah, padahal dirinya yang paling dicari-cari. Ia  pergi sejak pagi tanpa seorang pun yang tahu.

Anak perempuan keluarga Tannenbaum itu bernama Magdalena. Sejak tadi ia yang paling sering menanyakan keberadaan Rudolf. Ia begitu tergila-gila dengannya.

Hingga akhirnya langkah kaki terdengar, dan Rudolf hadir di tengah-tengah kami. Semua dugaanku langsung terbukti ketika Rudolf akhirnya pulang. Begitu ia tahu apa yang orang-orang itu rencanakan, Rudolf menunjukkan keterkejutannya. Wajah Rudolf semakin merah padam ketika ia melihat kehadiran Klaus Tannenbaum.

Rudolf menarik napasnya dalam-dalam. Mulutnya sudah ancang-ancang ingin membentak. Namun, Marie langsung menepuk pundaknya dan itu menghentikan Rudolf. Wanita itu--dengan segala tipuan manisnya--berpamitan kepada keluarga Tannenbaum dan mengajak Rudolf pergi.

Aku khawatir. Panik. Pasti Marie akan melakukan sesuatu lagi kepada Rudolf. Aku tidak peduli dengan etika formal dan tetek bengek pertemuan sialan ini lagi, aku langsung pergi tanpa permisi. Aku tergesa-gesa mengejar Rudolf dan Marie.

“Ah, si bungsu berulah lagi!” Ayah tertawa malu-malu jauh di belakangku.

Marie menyeret Rudolf ke atap. Langkahnya sungguh cepat. Aku berlari menaiki anak tangga. Aku terengah-engah begitu sampai di sana. Aku menyandari dinding, mengatur napasku sejenak. Bentakan Marie sudah terdengar dari luar sana. Rudolf tidak diam saja. Alhasil mereka adu mulut.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang