Aku tidak mengingatnya. Aku tidak ingat ada seorang gadis yang menungguku. Namun, mendengar nama itu membuatku berkecamuk. Terasa sakit, dan aku menjerit dalam kegelapan. Aku mengharapkan pertolongan dari siapapun. Ayah, Ibu, atau mungkin Lutz. Aku meringkuk, dan tubuhku bergetar. Di tengah perasaan membingungkan ini, di tengah antah-berantah yang dipenuhi gelap, tangan itu akhirnya membuaiku. "Kau baik-baik saja?" Ujarnya. Aku pun memandanginya beberapa saat. Ah, aku ingat. Ia adalah gadis di toko bunga. Ia berusaha memberiku peringatan sejak awal, kan? Namun sayangnya aku tidak menganggap serius tingkah waspadanya. "Mau kupanggilkan dokter? Kau gemetar." Tanyanya sekali lagi. "Tidak perlu, hanya mimpi buruk." Jawabku.
Kupikir aku mati dan semua telah berakhir dengan meyedihkan. Ketika kusadari dinding-dinding pucat, tirai, dan ranjang besi, aku bernapas lega. Aku di rumah sakit, aku masih hidup. Hanya saja perutku terasa nyeri. Aku ingat betul apa yang terjadi sebelumnya. Kakek tua itu meninggalkan luka dari tusukan pisaunya. Lalu, aku masih hidup? Sungguh tidak bisa kupercaya.
Ada sosok yang kucari. Aku tidak mengendus keberadaan ibuku. Gadis toko bunga pun menjelaskannya, tentang tangisan dan kepanikan ibu. Kini wanita itu tengah mencari-cari telepon untuk menghubungi Ayahku yang tidak kunjung datang. Kata gadis itu, banyak yang telah mengunjungiku. Termasuk ibunya yang ketakutan dan merasa mengemban semua rasa bersalah itu.
Ia termenung memandangi rintik gerimis di luar sana. Matanya terpejam, dan kini ia ditelan perasaan yang sama seperti ibunya, yaitu rasa bersalah. "Maafkan aku, seharusnya aku bisa bertindak lebih dari itu. Kau tahu? Aku selalu mendatangimu dan menunggumu tersadar untuk menyampaikan maafku." Ujarnya lirih. Aku tahu, tidak ada yang menginginkan itu terjadi. Sama sekali tidak terpikirkan.
"Lalu, bagaimana dengan kakek itu?" Tanyaku. Ia menghela napas berat dan beranjak dari sana. Ia menarik sebuah kursi kecil dan duduk di atasnya. Memandang dalam kekosongan, ia membawakanku kisah seorang pria tua. "Kakekku telah lama mengalami hal itu. Orang bilang, ia menjadi gila setelah kembali dari perang. Ya, kau tahu? Ia selalu merasa bersalah, menyesal, dan seakan ia menyerah dengan hidupnya. Tidak ada yang bisa membuat Kakek lebih baik selain Nenekku. Tapi ia meninggal belum lama ini. Kakek kehilangan kendali lagi." Jelas gadis itu.
Kejahatan, perang, dan seorang teman. Aku ingat ucapan kakek itu. Bernada lirih dan semua tentang penyesalan. Seorang teman berharga yang mungkin saja hilang dalam sejumlah penyerangan. Ya, aku mengerti. Pria tua itu dirundung kesedihan "Bagaimana keadaannya sekarang?" Tanyaku. Kedua tangannya mengepal di pangkuan. "Kakekku dikirim ke rumah sakit jiwa." Bisiknya. Bahkan wanita eksentrik itu tidak mau mengambil banyak resiko. Ia tidak mau seseorang terluka lagi di toko bunganya.
Pada akhirnya, banyak pertanyaan yang tersisa. Entah siapa yang mengatur semua ini. Tapi aku merasa semuanya saling terhubung. Tentang ban lengan itu, mimpi peperangan, hantu tentara dan seorang veteran yang menderita luka masa lalu. Dan itu semua menyerang diriku yang tidak tahu-menahu. Kupikir, kenapa semuanya mendatangiku?
Di tengah gemerlap dalam pikiran kusut itu, pandanganku tertuju kepadanya. Seseorang yang menggantikan Ibu untuk menjagaku. Dengan kesabaran menungguku terbangun dari tidur panjang. Dan begitu sekali lagi aku memandangnya, mulutku tergerak untuk sebuah kalimat. "Siapa namamu?" Tanyaku. Kemudian dari sana sebuah nama yang familiar terdengar lagi. "Isabella." Jawabnya.
Mataku terbuka lebar. Untuk sebuah alasan aku terkesiap. Senandung yang kudengar dari mimpi. Sebuah nama yang tampak dirindukan. Aku tidak mengenalinya sebelum ini semua terjadi. Mempercayai bunga-bunga tidur adalah hal yang jenaka. Namun, kali ini aku yakin telah menemukan sedikit jalan terang. Tentang kenapa semua itu mendatangiku, ternyata memang benar bukan tanpa alasan. Mereka saling terhubung.
"Apakah kau menunggu seseorang, Isabella? Seseorang yang tampaknya begitu jauh darimu dan seseorang yang kau cintai." Gadis itu mematung. Rautnya penuh keheranan. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Seluruh anggota keluargaku berkumpul di sini, tidak ada yang pergi maka tidak ada yang kutunggu kepulangannya." Ucapnya. Pikiranku pergi lagi, melompat dari satu ke yang lainnya. Tidak benar-benar kukendalikan apa yang kuucapkan, seolah ini bukanlah aku. "Dia tidak pernah kembali lagi, tetapi bukan karena ingkar janji. Bahkan di saat terakhirnya ia terbayang tentang dirimu." Apa yang kukatakan? Aku menyesalinya. Aku baru saja meninggalkan kesan aneh dengan orang yang baru kutemui.
Isabella tidak berkata-kata. Ia memandangiku dengan cemas. Keheningan muncul, dan itu membuat jarak yang jauh di antara kami. Ketika pintu tiba-tiba terbuka, kami spontan menoleh ke arah yang sama. Muncul dari sana seorang pria dengan keranjang apel di jinjingannya. Ia tersenyum ramah ketika menyadari hadirnya orang lain di sini. Isabella tidak berdiam diri, ia segera berpamitan denganku. Gadis itu pergi, mungkin dengan pertanyaan di benaknya.
Pintu pun tertutup lagi. Pria itu membawa kelam bersamanya. Ayah. Sosok itu akhirnya datang juga. Seolah ia melupakan apa yang ia lakukan, ia terduduk di sebelah ranjangku. Ia tidak lebih dari setumpuk mimpi buruk. "Lama tidak berjumpa, Konrad." Ia menyeringai, dan itu terlihat mengandung berjuta makna. Sial, hanya ia manusia yang bisa membuatku bergidik ngeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...