Rekanku, seorang prajurit dari Dresden itu bersenandung di balik dinding. Sejak kemarin ia tidak kunjung berhenti menceritakan keluarganya di kampung halaman. Kerinduan itu menjalar menuju secarik kertas dan guratan tinta. Ia hendak mengirim seutas kabar kepada ibunya di rumah. Bersiul, memandangi reruntuhan kota dan berseri-seri menantikan hari ketika ia bisa pulang.
Ia baru tiba beberapa hari yang lalu dengan kereta dan iringan akordion. Seorang prajurit dengan kemampuan bermusik itu langsung mendekatiku dan Ludwig, mungkin hanya karena kebetulan kami yang pertama ditangkap oleh matanya.
Reruntuhan kota memunculkan binar di matanya. Dengan itu muncul anggapan bahwa dirinya tidak akan terlalu lama di sini. Hanya dalam waktu singkat, kemenangan akan berada di tangan kami.
"Sebelum Natal, kita akan tiba di rumah." Jemarinya lincah melipat kertas itu, kemudian ia selipkan di saku. "Dan aku akan membawa kabar kemenangannya ke kampung halamanku. Kalian percaya itu? Aku mungkin akan menjadi pahlawan di keluargaku," ujarnya.
Kepulihan moral, bukankah itu yang kami butuhkan? Aku tidak tahu apa saja yang telah dilalui prajurit itu. Ia berangkat dari Italia untuk sebuah kota yang telah hancur. Bahkan di depan mayat yang bergelimpangan, ia masih mempertahankan moralnya. Sungguh manusia yang membuatku iri.
Oh, dan inilah Stalingrad. Aku menyaksikan sendiri ketika susunan kota besar ini berubah menjadi debu. Aku melihat sendiri ketika warga bergelora dengan patriotisme. Parit-parit digali untuk memperlambat kereta baja, dan perlawanan pun diberikan.
Aku benci pertarungan di tengah kota, di antara reruntuhan yang entah sampai kapan ia mampu berdiri. Mungkin sebagian besar dari kami juga tidak menyukainya. Penembak runduk menyebar seperti wabah. Tidak diketahui keberadaannya, tiba-tiba membuat seseorang tumbang.
Hari-hari mencekam berlalu. Semua terasa kosong, tidak ada hal baru selain pertempuran. Si Prajurit dari Dresden tidak lagi membicarakan tentang keluarganya. Ia menjadi lebih pendiam sejak pertempuran pertamanya di Stalingrad. Kini ia berewajah kaku, mengintip dari sela jendela dengan Karbiner 98k-nya.
Hari ini benar-benar sial. Kami terjebak di bekas pabrik sepatu. Kami terpojok, segerombolan tentara merah mengepung kami. Prajurit di luar sedang bertarung dengan sisa-sisa yang dimiliki, dengan panik menunggu bantuan tiba.
Musuh seakan tiada habisnya. Mereka mendekat tanpa kenal rasa takut. Tumbang satu, yang lainnya bermunculan. Mendengar deru senapan mesin tidak membuat mereka berlari menjauh. Mereka menerobos pertahanan kami.
Dari arah tangga terdengar suara tembakan, kemudian derap kaki berlomba-lomba menghampiri kami. Kedua rekanku berdiri di antara daun pintu, bersembunyi di balik dinding dengan tatapan siaga ke seberang sana.
Satu, dua, dan, tiga. Mataku bergulir dengan cepat menghitung penyergap yang datang. Tiga orang akhirnya tiba di tangga. Peluru pun melesat dan menewaskan salah satu penjaga pintu kami. Seorang lainnya segera menembaki para penyergap itu.
Sesuatu terlihat menyusup dari daun pintu. Terlempar dan menggelinding seperti koin yang terjatuh dari saku. Jantungku berdebar-bedar begitu menyadarinya, bahwa itu bukanlah koin. Benda itu terlempar ke arah senapan mesin.
"Granat!" teriakku. Aku mengempaskan tubuhku sejauh mungkin dari penyusup kecil itu. Bum! Dentuman terdengar, serpihan tajam menyebar seperti spora. Debu-debu berterbangan, diikuti dengan potongan tubuh yang menghujani kepalaku.
Rentetan senapan mesin tidak terdengar lagi, kedua orang yang mengoperasikannya tewas. Ruangan pun mendadak sepi, orang-orang di dalamnya sudah mati.
Seisi pandanganku dipenuhi debu yang mengaburkan. Telingaku berdengung, suara yang begitu menganggu lagi memuakkan. Aku perlahan mengangkat tubuhku. Sisa-sisa debu berjatuhan dari punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Gizem / GerilimKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...