Bab 22 | Toko Bunga

37 8 0
                                    

Pikiran itu tiada hentinya datang, seperti arwah yang menuntut pembalasan. Pertemuanku dengan Markus di sekolah mengundang gumpalan benci yang hampir tidak terbendung. Ada semburat niat buruk. Ketika melihat matanya, tidak kupercayai dengan apa yang aku lalui. Ia berjalan dengan santai di dunianya tanpa tahu masalah itu. Maka, tindakanku untuk membencinya adalah hal yang tidak berguna.

Aku terduduk di teras, termenung dengan sigaret di selipan jari. Ibu yang malang keluar dari persinggahannya dan memprotes anaknya yang terlalu cepat menua di bangku sekolah. Ibu terlihat membenciku dengan tatapannya. Ia kembali menyebut-nyebut nama Ayah ketika melihatku. "Enyahlah, Rudolf." Ibu memalingkan wajahnya yang penuh kemuakan terhadap sosok itu. Ia pergi begitu saja meninggalkan halaman rumah.

Aku mengikutinya dari belakang, entah ia akan menyetujuinya atau tidak. Aku tidak lagi berang mendengarnya, kini rasa ibaku tertuju penuh padanya. Jika saja suasana hatinya sedang baik, aku ingin mengajaknya berbicara mengenai hal-hal yang menyenangkan. Aku merapikan penampilan dan membawa gambaran tentang bocah baik ke dalam diriku. Jika memang hal itu dirindukan, aku akan menjadi Konrad kecil yang ceria, dan ia kembali menjadi dirinya yang dulu. Sebentar saja aku ingin melihat Magdalena yang menyeringai seperti di foto lawasnya.

"Bolehkah aku mengantarmu, Bu?" Aku menyusul langkahnya. Bola matanya bergulir membaca wajahku dari dekat. Ia tidak berucap dan membiarkanku berseri sendiri tanpa tanggapan. Sikapnya itu melelahkan, selalu berubah dengan tidak pasti. Ia bisa menangisi kepergianku dan mengharapkan kematianku dalam waktu yang berdekatan. Keinginanku tidaklah sulit, aku hanya ingin Ibu menerimaku sebagai Konrad, bukan sebagai seseorang yang ia benci. Bagaimana pun rupaku, aku tidak mengharapkan sebuah penolakan. Namun pada kenyataannya, memandangku terlalu lama akan menimbulkan kemuakan baginya. Tindakan berpura-pura kembali menjadi nyawa tidak berdosa sangat tidak berguna.

"Aku bukan Rudolf. Aku berbeda dengannya. Aku tidak akan melakukan hal buruk kepadamu." Ibu masih tidak berkata apa-apa. "Aku semakin besar dan itu tidak dapat digugat. Sekarang aku memahami apa yang kau lalui. Maafkan aku, aku harus mengatakan ini. Tapi tumbuh di tengah konflik bukanlah hal yang baik. Ribuan kali aku melihat perlakukan buruknya kepadamu, dan untuk itu aku senantiasa mengutuknya hingga detik ini. Aku ingin kau mengetahuinya, aku sangat berbeda dengannya meskipun aku selalu mengingatkanmu padanya."

"Apa yang membuatmu yakin bahwa kau tidak akan menjadi sepertinya suatu hari nanti?"

"Lihat. Entah kau berlaku seperti apa terhadapku, hingga detik ini aku tidak meninggalkanmu. Dalam hal itu aku lebih unggul daripada Ayahku, kan? Aku tidak membencimu, kurasa tidak bisa. Aku tahu ada sosok yang kurindukan bersembunyi di dalam sana, dan suatu saat ia akan menunjukkan dirinya."

Parasnya melunak dan kulihat seseorang yang telah lama bersembunyi di dalam mimpi buruknya. Pelan-pelan aku merasakan suasana masa lalu bertiup di sekelilingku. Ibu yang pada masa itu dipenuhi raut kehangatan tiba di depanku. Dengan wajah itu seakan ia menyambutku pulang dari petualangan nestapa. Ibu tersenyum, dan itu adalah apa yang kuharapkan darinya. Aku selalu berharap rautnya akan tetap seperti itu. Setidaknya hingga detik ini, aku bersyukur bisa melihatnya.

Lonceng bergemericik di atas pintu kaca. Tercium wangi-wangian dari jajaran meja antik. Pot bunga berbaris rapi di setiap sudut ruangan. Ibu memasuki satu-satunya dunia yang ia cintai. Toko bunga dan seisinya bagaikan semesta yang memberikannya tempat pulang. Seringainya semakin berwarna, ia menyambut seorang teman sebagai sang pemilik toko. Perempuan itu sedikit lebih tua dari Ibu. Ia memiliki penampilan yang mencolok dengan warna -warni yang menyala.

Kupikir mereka berteman dengan baik, dan aku turut berbahagia melihatnya. Bahkan ia lebih baik dalam membuat Ibu tersenyum ketimbang aku. Mereka membuat ruang bicara sendiri di sebuah ruangan beratap kaca. Ketika kupastikan Ibu akan baik-baik saja bersamanya, aku beranjak dari sana dan memulai pengamatanku sendiri. Aku memerhatikan tiap warna-warni bunga dan berlakon sebagai seseorang yang begitu terpikat dengannya. Belasan tanaman bergelantungan di atas kepalaku dan seakan di depan mataku berdiri sebuah labirin barisan rak. Mereka tersusun rapi untuk memamerkan keindahan bunga dan perkakas berkebun.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang