Bab 59 | Jejak Rudolf: Api

18 6 0
                                    

Darah bercampur tanah, rintihan dan keringat. Bercampur menjadi satu, tragedi di siang bolong. Sipir-sipir keji dan narapidana yang dibenci. Sejauh mataku memandang, hanya konflik, ketegangan, baru saja berakhir dan menyisakan jejak-jejak tragis.

Banyak narapidana yang tewas terinjak-injak, termasuk biang keributan itu sendiri, Uwe dan Dieter. Kepala bocor dan bagian tubuh yang lepas. Yang tersisa hanya terduduk lemas sambil menyaksikan neraka itu.

Kepala sipir kebingungan bukan main. Pria tua itu berpikir, apa yang mengawali ini? Untuk itu dilakukan pembersihan sisa-sisa di lapangan dan penyelidikan.

Duka menggumpal menjadi satu. Membumbung tinggi ke langit bergemuruh. Sebuah kesepian dari pemuda berwajah lesu. Terdiam sejak hari itu, hanya di sana meratapi Otto.

Pria tua itu mati. Tidak ada lagi sosok yang dianggap sebagai ayah untuknya. Seorang Marek yang dipenuhi amarah juga tidak lagi menjadi penopang hidunya. Ia benar-benar kehilangan. Semuanya, dan  hanya aku yang ada. Sosok asing, tidak dikenal, mungkin cukup beruntung karena aku yang menyingkirkan kukunya. Terbaring saja di atas ranjang karatan, menghadapi dinding dalam diam. Karl yang malang.

Dengungan terdengar dari Clair de Lune. Sebuah gangguan kecil, dan aku pikir bunyi itu berasal dari dalamnya. Bukan, hanya Karl yang kini membalik kepalanya. Memandangiku, dan membuatku meninggalkan walkman.

“Bukankah kau di luar waktu itu, Rudolf?” ucapnya lemas. “Apakah kau melihatnya? Otto?”

“Tidak. Aku sedang terlibat urusan lain.”

Karl kembali tertunduk lemas. Dengan enggan ia membangkitkan tubuhnya dari ranjang. Terlihat memaksa. Kini hanya aku yang bisa ia hadapi. Mata gelapnya mengarah ke gulungan kabel di pangkuanku. Sebuah walkman yang aku dapatkan tempo hari. Karl mulai mempertanyakannya dengan berbisik.

“Kau membayar untuk itu?” ucapnya.

Ia menarik benda itu dari pangkuanku. Terdiam sementara waktu, membiarkan musik itu memenuhi pendengarannya. Tanpa senyuman, ia memandangiku dengan heran. “Kau membayar hanya untuk memutar ini?” ucapnya lagi.

“Semua yang didapatkan dari Uwe harus dibayar. Aku tidak menyesal, itu setara dengan yang aku beri.”

Karl tersenyum tipis. Aku tahu, dibalut dengan kebencian terhadap hari-harinya. Meratapi nasib buruknya yang tidak kunjung usai. Penuh dengan petaka ketika menemui dirinya terjebak di sarang kematian. Senyuman yang terasa pahit.

“Ini selalu ada di telingamu. Kau mendengarkan hal yang sama?” tanya Karl. Tetap saja tersenyum kosong.

“Apakah ini berarti untukmu? Sebuah kenangan, bukankah begitu? Ketika dunia menjadi dingin dan gelap, kau tidak bisa melakukan apa pun. Perlahan kau menyaksikan dunia yang hancur. Kini kau merindukan kehangatan. Secercah harapan yang mustahil didapatkan, sudah berlalu, dan kau tidak bisa mengulangnya.”

Ia melepas penyuara jemala. Ia hanya pemuda asing yang mencoba berbicara untukku. Seakan ia mengetahui semuanya, dan aku menolak itu. Diriku pun tahu apa yang aku yakini sangat berseberangan. Namun, terlihat aku tidak menerimanya sama sekali. Seketika aku merebut benda itu darinya.

Ia tidak terganggu. Mungkin menurutnya ini adalah hal biasa. Setiap orang pernah merasa seperti itu. Mendambakan suatu hal yang mustahil didapatkan lagi. Karl menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak sendirian.

Sebuah penyesalan, mengapa kita tidak mendapat yang terbaik? Atau mengapa ini terjadi? Apa yang mengawali ini? Mengapa kami melakukannya? Dan mengapa kami berakhir di sini?

Tentu sebuah kesalahan. Menghantui tiap malam. Merindukan hari-hari  ketika masih indah. Masa lalu yang hangat, sebelum semuanya terjadi. Sebuah penyesalan. Lagi-lagi penyesalan. Diri yang tercabik. Berawal dari jiwa yang suci, ternoda oleh kelicikan dunia. Tanpa disadari berubah menjadi makhluk yang menyumbang kengerian lainnya kepada dunia. Ah, inikah aku?

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang