Pemandangan ini tidak asing bagiku. Setiap aku melihatnya, kesedihan yang sama terulang. Ketika mayat rekan-rekan kami diangkut ke atas truk, requiem pun mulai menggema. Mayat yang bertumpuk itu memperlihatkan wajah yang sama, sendu bermandikan darah.
Aku saksikan temanku di sana, Joachim dari Dresden yang tidak lagi bernyawa. Ini adalah pertemuan yang singkat. Rasanya baru kemarin ia turun dari kereta dengan akordionnya. Hari ini ia pergi dan tidak ada lagi obrolan tentang Dresden yang akan aku dengar darinya.
Jasadnya digotong dan lewat di depan mataku. Lirikanku bergulir mengikuti tubuh tanpa nyawa itu hingga ia tiba di atas tumpukan mayat. Kami semua termenung ketika deru mesin truk terdengar, dan ia mulai berjalan membawa rekan-rekan kami yang gugur.
Perban memenuhi tubuhku. Kotoran dan darah memberikan perasaan lepek di rambutku. Sungguh penampilan yang kacau, senada dengan prajurit-prajurit yang lain.
Kami--prajurit-prajurit yang kelelahan--sekali lagi menjumpai ketenangan sementara waktu. Sayup-sayup nyanyian terdengar, dan seorang penulis surat lainnya menghabiskan waktu dengan pena.
Barisan musuh yang telah menyerah melintas di hadapan kami. Tatapan penuh teror melayang dari masing-masing mata, menghakimi musuh yang telah beberapa tahun kami lawan. Bahkan nyanyian terhenti dan berubah menjadi bisik caci maki.
Baru aku sadari Ludwig berdiri di sebelahku sejak tadi, masih dengan senapan di lengannya. Ia turut memerhatikan barisan tentara yang telah menyerah itu. Pria berjanggut hingga anak-anak dengan baju longgar ada di sana. Aku meringis begitu menyadarinya, kamp, interogasi, atau eksekusi. Hal-hal itu akan menunggu mereka di depan sana.
Ludwig menepuk pundakku, kemudian ia mengarahkan matanya ke toko-toko yang telah kosong. Ia pun membawa langkahnya untuk memasuki salah satu bangunan itu.
Aku mengikuti langkah Ludwig ke dalam sana. Yang kami harapkan adalah makanan yang tersisa, tetapi tidak ditemukan yang layak di sana. Hanya semangkuk bubur yang kini berceceran di kaki meja. Seisi ruangan berantakan. Mayat saling bersandar di pojokan. Aura mencekam tertinggal di dalamnya, menyatu dengan dinding yang kusam dan cipratan isi kepala.
Ludwig sama putus asanya, ia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan pasrah. Hanya rokok yang ia miliki. Dirinya pun cukup peduli dengan membaginya kepadaku.
Teriakan terdengar dari luar. Rekan-rekan kami berjalan dengan membawa botol-botol kaca yang terisi penuh. Ombak suara antusias pun terdengar. Mata Ludwig melirik keluar jendela, ia menyeringai lebar, kemudian ia bergegas menuju ke sana, begitu pun aku.
Ludwig menghentikan langkahnya tepat di daun pintu. Wajahnya berubah menjadi waspada. Ia mulai melirik ke setiap sudut ruangan. Ia meletakkan telunjuknya di bibir untuk menunjukkan seberkas suara yang mengganggunya.
Sayup-sayup aku mulai mendengarnya, suara bisikkan dari suatu tempat. Terlalu pelan, hampir tidak terdengar. Bunyinya seperti diredam oleh sesuatu. Namun, terdengar sangat dekat, dan mungkin saja begitu tersembunyi.
Aku berhenti di depan sebuah lemari. Aku memandanginya dalam waktu lama dan mulai menaruh curiga kepadanya. Bisikan itu terdengar dari dalam sana. Aku menoleh kepada Ludwig, menatapnya dengan harap, ia juga merasakan hal yang sama.
Ludwig langsung mendekat dan mengarahkan senapannya ke sana. Kami bertatapan, dan seolah kami saling mengerti apa yang kami pikirkan. Ketika Ludwig menganggukkan kepalanya, aku telah siap. Setelah aba-aba, aku pun membuka pintu lemari.
Moncong senapan terangkat, diikuti dengan degup jantung dan sesak yang mencekik leher. Jika saja matanya tidak cepat menanggapi, mungkin senapan itu sudah memuntahkan peluru. Seorang anak kecil meringkuk di dalamnya. Itulah yang membuat kami terdiam.
Anak itu memakai seragam cokelat dan topi berbintang merah. Ia ketakutan setengah mati, dan mulutnya merapalkan doa-doa. Tangannya mencengkram lengan. Kulihat darah yang mengalir dari sana.
Ia hanya bocah lelaki bertubuh ringkih. Air matanya tidak berhenti mengalir. Ia berlutut, memohon untuk dibiarkan tetap hidup. Ia menarik-narik ujung lenganku tanpa aku mengerti apa yang ia bicarakan. Tragisnya, ia harus menyaksikan mayat rekan-rekannya yang bergelimpangan di sana. Seketika matanya membesar. Isak tangis mulai terdengar.
Aku mengintip keluar jendela. Aku termenung sesaat menyaksikan pertunjukan brutal di sana. Eksekusi massal dalam sebuah galian. Rentetan peluru melubangi daging-daging dan membuatnya meniupkan aroma yang sarat kematian. Situasi ini terlalu mustahil untuk keberlanjutan hidupnya.
Bocah itu hanya memandangiku tanpa bereaksi apapun selama aku membalut lukanya dengan sepotong kain lusuh. Matanya bergulir ke arah Ludwig yang tiba-tiba mengarahkan senapan kearahnya.
"Hentikan Ludwig, kau menakutinya," ujarku.
Ludwig mengalihkan pandangannya dan terdiam. Tersisa aku dan kepedulianku yang datang tiba-tiba. Dengan segurat senyuman, aku mengharapkan sebuah penebusan dosa. Namun, dalam sekejap memori peperangan kembali. Entah sudah berapa kali aku menemukan anak kecil yang membabi buta dengan senjata api.
Mendadak aku berhenti membalut lukanya dan melirik bocah itu dari ekor mataku. Kulihat mata kecokelatan yang jernih itu, dan sebuah tampang lugu yang dipenuhi debu. Lirikanku merambat ke bawah dan menemukan segaris cahaya dari balik betisnya. Kemudian aku sadari bahwa anak itu menggenggam belati.
Aku terkesiap begitu menyadarinya. Aku bangkit dan berlari menjauhi bocah itu. Ia tidak berniat diam saja. Ini adalah peperangan. Kematian terjadi di mana-mana. Wajah lugu itu pasti telah menghadapi ribuan kematian rekan-rekannya, dan itu menyisakan sebuah amarah yang meledak-ledak.
Sekelebat belati melintas di depan mataku, berayun dengan gesit dan meninggalkan irisan di jariku. Bocah itu berteriak, kemudian mengambil langkah mematikan. Ia berlari menghampiriku sambil mengayunkan belatinya. Aku menghindar, kemudian menghalangi langkah bocah itu dengan kakiku. Ia tersandung, belatinya menancap di ujung meja.
Ia begitu kecil, bergerak dengan licin seperti belut. Meringkusnya adalah hal yang merepotkan, terasa seperti memasukkan benang ke dalam jarum. Ia mencabut belatinya dari meja. Ujung tajamnya berayun tepat ke arahku.
Dalam waktu singkat, bahkan hampir tidak kusadari, tiba-tiba saja sesuatu mendarat di atas sepatuku. Terjadi sedikit pantulan dan akhirnya berakhir di lantai. Tatapanku menyelidiki, mencoba mengenali benda aneh itu. Ditutupi merah seperti selai ceri. Teksturnya membingungkan, berdaging, dengan warna yang mirip sekali dengan kulit.
Mataku melotot begitu menyadari bahwa itu adalah potongan telinga. Setelahnya aku mulai merasakan sakit. Pipiku terasa basah, ketika aku merabanya, aku tahu bahwa daun telingaku lepas. Itu dia, yang baru saja mendarat di sepatuku.
Ludwig segera membenturkan gagang senapan kepada si bocah. Ia sempat tumbang dan kemudian bangkit lagi. Ia berlari menuju pintu, hendak melarikan diri. Suara senapan terdengar dari Ludwig yang kini mengerang murka. Peluru menguntit langkah bocah itu. Kemudian keributan membuat rekan-rekan kami menunjukkan reaksi yang sama. Mereka meletakkan botol-botol kaca itu begitu menyadari kehadiran bocah dengan belati di genggamannya.
Ia terlalu lincah untuk seseorang dengan pecahan peluru di lengannya. Ia membuat kami melingkari lapangan untuk menghadangnya. Wajahnya ketakutan, ia terus berteriak sementara kakinya bergerak dengan lincah menghindari pasukan kami yang bermain-main dengannya. Seorang prajurit muda mengangkat senapannya. Bidikannya tepat mengarah kepada bocah itu. Ia pun tersungkur ke tanah setelah peluru mengenai kakinya.
Di sisa-sisa terakhir hidupnya, air mata terus mengalir. Dua tangannya terkepal, seakan meminta permohonan untuk tetap hidup. Tidak ada yang beranjak untuk menyelamatkannya. Rekan-rekannya telah tiada, tersisa siksaan yang akan menimpanya. Ketika bensin tumpah di atas tubuhnya, dan api yang tersulut dari sebatang korek api menjalar ke pakaiannya, ia menjerit. Aku spontan menunduk supaya pandanganku berpaling dari sana. Melihat kematian yang menyiksa itu, sakit yang kurasakan sirna. Koyakan di telinga terasa tidak seberapa ketika mendengar jeritan dari tubuh yang terbakar.
Ludwig meringis geram. Mulutnya membisikkan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Ia melepaskan sebuah tembakan ke arah kobaran api. Seketika bocah itu pun tewas. Kini jeritan rasa sakit itu tidak terdengar lagi. Tubuh itu sudah tidak bergerak. Pandangan kami langsung tertuju kepada Ludwig. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ludwig langsung beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mistério / SuspenseKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...