Setiap malam memori buruk itu melintasi selimutku. Tidak ada perhitungan mengenai domba yang melompati pagar, semua tercemar oleh cerita nestapa dari dunia yang licik. Untuk keadaan yang normal, figur itu seharusnya menemaniku bermain baseball atau menemaniku membahas buku-buku, lalu memberikanku nasihat mengenai kehidupan dan menghadapi masalah yang akan menumpuk di hari tua.
Setiap pagi menyelinap dari tirai, aku terbangun awal waktu dan memerhatikan ibu di meja makan, bersama cangkir kecilnya yang selalu berasap. Ia selalu mendeklarasikan kekosongan. Lewat diamnya aku bisa membaca karya pujangga yang menunggu kematian di gubuk tua. Entah sejak kapan ia membiarkan dirinya membusuk di antara kisah tidak menyenangkan itu.
Terdapat dua kemungkinan, ia ditinggal tanpa tahu alasannya, atau yang kedua, ia tahu alasannya dan memilih untuk diam. Untuk memastikan kedua kemungkinan itu, rasanya aku tidak sanggup mengemukakan sepotong kalimat tanya kepadanya. Itu terlalu menyakitkan, bahkan untukku. Setiap aku melihat matanya, riak kesedihanku menyeruak.
Aku mulai mencari-cari akar permasalahan itu. Hari demi hari aku mengayuh sepeda dan mengikuti jejak mobil Ayah. Pekerjaan itu tidaklah mudah. Pengendara VW Golf Mk1 bukan hanya Ayah seorang. Namun, aku mulai memahaminya, mobil Ayah memiliki sedikit penyok di bagian belakang, dan tentu saja perawakan si pengendara yang tidak asing bagiku.
Pabrik adalah tempat di mana mobil itu sering singgah, kemudian bar, atau rumah teman-temannya. Ayah juga menempati sebuah apartemen tidak jauh dari pabriknya.
Di suatu hari, ketika aku dalam perjalanan mengikuti mobil ayah, aku mendapati ia berhenti di sebuah rumah bercat putih. Aku bersembunyi di balik semak dengan Lutz di sisiku. Dari dalam sana keluar seorang wanita yang sama seperti yang kulihat di samping kanal. Rambut hitam bergelombang, berparas lugu dan gestur yang mendayu-dayu.
Terpancar kehangatan dari bilik-bilik rumah itu. Berbanding terbalik dengan rumahku yang diselimuti lapisan suram kisah pemiliknya. Ayunan di halaman rumah itu pelan tertiup angin dan mengantarkan sepotong pertemuan dengan anak Serbia. Roda sepeda tua berputar-putar di ingatanku, dan tentang kebaikanku mengantarnya pulang. Emosiku bergejolak, penuh dengan rasa tidak terima dan bergidik ngeri dengan plot menyeramkan itu.
Markus, tidak lama setelah nama itu tertulis di pikiranku, anak itu muncul dan berakhir di rangkulan ayah. Aku melirik Lutz, dan kini aku paham dengan ucapannya waktu itu di perpustakaan. Lutz memaklumi raut kemarahanku, ia menepuk-nepuk punggungku dan memancarkan prihatin dari sorot matanya.
Aku tidak pernah menduga terjadinya hal seperti itu. Aku dan Lutz tidak memiliki pemahaman apapun tentang latar belakang ayah melakukannya. Terlalu banyak yang disembunyikan antara kedua orang tuaku. Memang ada kalanya rentetan tragis menyerangku bertubi-tubi, dan itu mematikan keceriaan yang dulu sempat menghuni diriku.
Sekarang aku memahami kemarahan Ibu dan pelampiasannya terhadapku. Tindakan itu kubiarkan begitu saja ketika terjadi.
Aku sangat mirip Ayah, rupaku seperti hasil cetak ulang darinya. Kondisi ibuku yang tidak baik-baik saja menganggap bahwa aku benar-benar ayah, bahkan ketika ia mengalami puncak kemarahannya, ia akan membentak dan memanggilku dengan nama ayah. Ketika itu terjadi, aku hanya terdiam sampai ombak kemurkaan itu surut dan ia akan terduduk di pojokan meratapi perbuatannya.
---
Aku berkelana sepanjang hari dengan rokok di selipan jari. Sepanjang langkah asap-asap itu menyatu dengan kubangan gusar. Di tengah perjalananku, aku temui pria tua di tengah pepohonan cemara. Ia terduduk seorang diri di depan kanvasnya.
Garis-garis wajah itu aku kenali sebagai seorang guru seni sekolah. Ia sibuk dengan kuas-kuasnya dan kaleng cat yang bertebaran di sekeliling kursinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Misteri / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...