Bab 29 | Sisi Gelap

58 9 4
                                    

Aku tahu, sekarang aku sedang bermimpi lagi. Kali ini terasa berbeda dari mimpi di rumah sakit. Mimpi ini hampa, mataku hanya bisa melihat kegelapan. Sesuatu terlihat menggantung di atas kepalaku. Benda itu bergoyang ke kiri dan ke kanan. Sebuah lampu dengan kabel menuju langit gelap yang tak terbatas menari di atas sana. Lampu itu menyala dan menyilaukan mataku. Aku mengerahkan telapak tangan untuk menutupi pandanganku. Sebuah sentuhan kecil mulai terasa di sana. Kaki-kaki kecil itu tampak mondar-mandir dan menimbulkan rasa gatal di telapak tanganku.

Kutatap telapak tanganku dan kutemukan seekor kupu-kupu. Ia mengepakkan sayapnya pelan dan menebar keindahannya. Aku mengamatinya lamat-lamat. Corak di sayap kupu-kupu terlihat tak beraturan pada awalnya. Namun, lama kelamaan pola itu membentuk sebuah wajah yang bersedih. Air mata mengalir dari kedua lubang mata. Kemudian suara tangisan mulai terdengar.

Langkah kaki terdengar dari suatu tempat dalam kegelapan. Cahaya dari lampu menyinari sepasang kaki yang mendatangiku. Semakin ia mendekat semakin terlihat wujudnya. Kaspar si manusia kupu-kupu. Lama tidak berjumpa dengannya. Ia masih datang bersama kesedihan. Ribuan kupu-kupu mengikuti langkahnya. Ia berhenti di depanku dan mengembangkan sayap kupu-kupu raksasanya. Kedua mata bulatnya memancarkan cahaya putih. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku.

Tangannya terasa dingin dan memiliki tekstur yang aneh. Terasa agak berlendir dan lengket. Aku terkejut ketika tanganku tidak bisa lepas dari genggamannya. Cairan hitam yang menyelimuti tubuhnya mengalir ke tanganku, kemudian berjalan menaiki lengan dan melahap habis seluruh tubuhku. Kaspar enggan melepaskan tanganku. Lututku lemas dan akhirnya aku tumbang sambil tetap berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya. Cairan hitam melumuri seluruh tubuhku, menyisakan bagian wajah yang juga tidak akan bertahan lama.

Aku menjerit, punggungku tersiksa dengan rasa sakit. Sesuatu memberontak di antara tulang rusukku. Benda sialan itu terasa tajam dan mengoyak dagingku dari dalam. Bunyi sobekan kulit pun terdengar. Sayap kupu-kupu raksasa keluar dari punggungku. Sayap itu menjulang tinggi ke langit dan bermandikan darah. Rasanya sungguh perih. Tanpa kusadari air mata telah membasahi wajahku. Aku tersungkur ke tanah dengan tidak berdaya. Aku dapat merasakan cairan hitam yang perlahan memenuhi wajahku.

Kupandang ke arah sana, tempat kaspar berdiri. Aku tidak lagi melihat wujudnya yang dipenuhi kegelapan. Aku melihat sepasang kaki manusia yang terbalut dengan sepatu. Pandanganku semakin naik, memerhatikan sosok itu perlahan dari ujung kakinya. Kulihat celana hijau ke abu-abuan yang tertutupi debu, ikat pinggang yang disangkuti kantung-kantung, dan baju berwarna senada dengan celana yang sungguh kukenal.

Ah, pakaian itu lagi. Berulang kali aku menyaksikan ribuan orang dengan pakaian serupa di mimpiku. Identitasnya semakin membuatku penasaran. Apakah ia yang selama ini memberiku mimpi-mimpi itu? Hingga akhirnya mataku sampai pada puncak dari segelanya. Apa yang kulihat akan menjelaskan siapa sosok itu. Namun, material gelap itu telah menutupi kedua mataku. Tersisa celah-celah kecil yang mengaburkan pandangan. Melalui itu aku menerawang ke arah sana. Wajahnya buram, samar-samar kulihat titik-titik yang seharusnya membentuk fitur wajah. Rambut pirang itu bersinar di hawah cahaya lampu. Aku tidak mengenalinya. Sungguh pria yang asing. Wujud kaspar tidak lagi seperti dulu. Ia membuang semua kegelapannya kepadaku. Kini, akulah yang dipenuhi kegelapan itu. Bahkan ketika ia telah menunjukkan wujud aslinya, Kaspar tetaplah menjadi misteri. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa manusia kupu-kupu itu.

"Schröder!"Panggilan itu mengejutkanku. Peristiwa ini tidak asing lagi untukku. Mendengar teriakan itu aku langsung ingat bahwa aku sedang berada di kelas. Pria berambut klimis dengan penggaris besi itu adalah guruku. Ia membangunkanku dangan teriakan dan benturan penggaris besinya ke mejaku. Aku langsung menyingkirkan kepalaku dari meja dan mengarahkan wajahku ke depan. Orang-orang menyeringai dan berbisik memerhatikan mejaku. Ketika mataku melirik ke bawah sana, tepat di permukaan meja menggenang air yang tidak kuketahui dari mana asalnya.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang