"Kau yang melaporkanku, bukan?" tanyaku. Tidak kunjung terdengar suara dari bilik sebelah. Hanya terdengar embusan napas dan sedikit pergerakan dari sana. Ia mengetuk-ngetuk pembatas bilik perlahan, terasa sedang memikirkan sesuatu. "Kau tahu itu," jawabnya. "Apa yang kau katakan?" segurat senyum muncul di wajahku. Menunggu jawaban itu membuatku tergelitik. Seorang perundung melaporkan orang yang biasa menjadi korbannya. Dulu aku juga melakukan yang sama ketika ia membuatku terjatuh dan kakiku patah. Semua terdengar lucu, kini keadaannya berbalik. Meskipun begitu ia tidak senantiasa menghindariku seperti aku menghindarinya dulu. Ia malah dengan tekun memandangiku dari celah pintu dan seakan memintaku untuk menghampirinya.
Setelah sekian lama ia pun menjawabku. "Karena kau merokok di sekolah, benda tajam, dan karena kau memanggilku Yahudi," ucapnya. "Kau juga merokok, Verbinsky," balasku. Ia tertawa dari sebelah sana. Terdengar licik dan membuat rasa kesalku membuncah. Aku bisa membayangkan seperti apa wajahnya ketika ia mengadukan itu. Raut polos yang dipoles dengan payah. "Hei, Schröder. Aku bisa saja tidak mengadukanmu jika kau tidak menyinggung dari mana aku berasal," ucapnya. "Semua orang tahu kau adalah Yahudi," aku masih berusaha mengelak. "Kau pikir aku tidak mengerti? Aku tahu maksud perkataanmu," Verbinsky menimpali, dengan selipan kekesalan di balik tawanya.
Aku mulai memahaminya. Lonjakan emosi itu membuatku tidak terkendali. Aku merasakan getaran di mulutku, perpaduan rasa gengsi dan sikap keras kepala menghambat butiran kataku. Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang. Hingga akhirnya aku mengucapkan kata itu. "Maaf," ucapku.
Dengan pelan ia tertawa, kemudian ia membisikkan sesuatu dari sana. Bajingan Nazi, begitu ia menyebutku. Bisikan itu sampai ke telingaku. Kedua mataku terbuka lebar dan aku terdiam menatapi pembatas bilik. "Aku akan memaafkanmu jika kau telah mendapat balasannya," tambahnya. Aku bersandar dan mengembuskan asap-asap halus itu. "Kau akan memukulku?" tanyaku. Pada detik ini aku mulai pasrah. Mungkin aku akan babak belur atau ia akan mematahkan kakiku lagi. Namun, Verbinsky mulai bertingkah di luar dugaanku. Ia berkata tidak untuk itu. "Bukan aku. Biarkan sesuatu akan membalasmu dengan sendirinya. Aku tahu, Schröder. Duniamu sedang hancur."
"Dari mana kau tahu itu?"
"Dari tindakanmu ketika kau memintaku untuk mengakhiri hidupmu. Bukankah sempat terbesit di benakmu jika kematian adalah tempatmu untuk lari dari semua itu?"
"Kau memahaminya? Apakah kau pernah merasakan itu, Verbinsky?"
"Kau pikir kenapa aku bisa menjadi seperti ini?" Verbinsky untuk kesekian kalinya tertawa, menganggap hidupnya adalah bagian dari anekdot yang menggelitik. Aku tidak mengira Verbinsky akan bercerita kepadaku, tentang kematian tragis kedua orang tuanya, dan itu adalah mimpi buruk terbesarnya. Sebuah kecelakaan mobil menimpa Ayah dan Ibunya. Verbinsky di usia yang ke dua belas pun menelan pahitnya plot kehidupan. Rasa kehilangan, kesedihan dan kesepian menjadi satu. Verbinsky ditampung oleh pamannya yang pemabuk. Bocah itu tidak lagi mendapat perhatian seperti dulu, ketika orang tuanya masih hidup. Ia tidak lagi mengenal kasih sayang. Dalam sekejap dunianya menjelma kegelapan.
"Pamanku payah. Si pemabuk yang tidak lagi mengenal Tuhan itu malah menyanggupi ketika orang-orang menyuruhnya merawatku. Hanya dia orang terdekat yang kumiliki. Ia hanya memberiku makan dan sepetak kamar, selebihnya ia tidak peduli. Sama saja aku seperti hidup sendiri," jelas Verbinsky.
"Bagaimana kau mengakali kesedihan itu?" tanyaku. Terdengar dentuman kecil di pembatas bilik, Verbinsky mulai bersandar. "Aku membalas dendamku kepada kehidupan dan siapapun yang menulis kisah menyedihkan itu untukku," ucapnya. "Aku pernah berdiri di pembatas jembatan, atau mengarahkan revolver ke pelipisku. Namun, pada akhirnya aku selalu sadar bukan itu yang aku inginkan. Mati hanya membuatku mati, tidak membalas sepeser pun dendamku terhadap kehidupan. Aku meminum alkohol dan merokok di usia yang sangat muda. Aku mencuri di supermarket, atau menjahili gelandangan. Aku mengganggu anak-anak yang tidak berdaya. Awalnya aku tidak percaya, tetapi setiap aku melakukan itu, perasaanku lega. Aku merasa puas. Kepuasan itu membuatku ingin melakukannya lagi dan lagi."
Kami terdiam, meresapi kesialan yang sama-sama menimpa kami. Waktu yang kosong itu berjalan cukup lama, hingga batang rokokku habis terbakar. Aku membuka pintu toilet dan menghampiri keran air, dan aku membasuh kedua tanganku. Pandanganku naik ke cermin yang terpampang dihadapanku. Wajahku tergambar di sana, tepat di tengah retakan yang membuat pantulan wajahku berantakan. Di saat yang sama, sosok hantu tentara itu terlihat di cermin. Ia masih mengikutiku. Melihat wujudnya yang mengenaskan tidak lagi membuatku bergidik ngeri. Aku mulai bersimpati kepadanya. "Apakah hidup memperlakukanmu dengan sial juga?" bisikku. Sosok itu masih tidak mau bicara.
Suara engsel pintu terdengar. Verbinsky membuka bilik toiletnya. Ia keluar dari sana dan menerjang bayangan sosok itu. Ia tidak menyadarinya, juga tidak merasakannya. Sosok itu menembus dan hilang begitu saja. Verbinsky dengan raut tidak karuan turut menghampiri keran air. Ia menampung air di kedua tangannya dan mengguyur wajahnya. Biasanya ia selalu menyeringai, memandangi siapa pun dengan nada merendahkan. Seringai yang tidak bisa diartikan dengan baik. Namun, kini aku tidak melihat raut itu padanya. Wajahnya terlihat suram. "Kau tersesat," ucapku. "Kau juga," balasnya seketika.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Aku memandanginya. Verbinsky berhenti mencuci tangannya. Ia terdiam sejenak hingga akhirnya ia mematikan keran dan mulai memandangi wajahnya di cermin. "Entahlah, balas dendamku belum selesai. Kalau kau?" tanya Verbinsky. Aku menggelengkan kepalaku. "Mungkin ada kisah kematian yang menungguku," jawabku. "Dan kalau kau tidak mati?" Seringainya terlihat lagi. Ia memandangiku dengan kesan yang buruk. Aku menaikkan kedua bahuku, isyarat kebingungan untuk kejutan yang akan menerpaku di depan sana.
Aku tidak menduga akan mengabaikan konseling dengan Nyonya Schlegel. Sebagai gantinya aku malah mengobrol dengan musuhku. Tanpa keributan, tetapi ia mengharapkan sebuah pembalasan atas tindakanku. Sekarang kami sama-sama tahu bahwa kami ditimpa sial, dan kami membangun siasat yang berbeda untuk mengatasinya. Verbinsky mengulurkan tangannya ke arahku. Aku segera meraihnya. "Menandakan apa ini?" tanyaku. Verbinsky menggelengkan kepalanya. "Entah, bisa jadi tanda perpisahan jika kau mengakhiri hidupmu besok" ia tersenyum lebar dan langsung beranjak meninggalkan toilet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...