Perlahan kesadaranku kembali. Segerombolan orang tampak di depan mataku. Mereka saling bertukar lelucon dan tertawa lepas. Aku terus memerhatikan mereka, isi kepalaku masih mencerna situasi ini.
Apa yang telah menimpaku? Ingatan terakhirku hanyalah lenyapnya jejak gadis itu, dan fakta mengenai perasaanku yang compang-camping.
Kini, aku berhadapan dengan wajah-wajah yang semakin lama dapat aku kenali. Orang-orang gila, mereka mengelilingiku. Mereka tersenyum menyambutku.
"Ia sudah siuman!"
Mereka menghadirkan gempita. Semua bersorak, terkesan seperti sebuah kemenangan, mereka melompat kegirangan. Sikap itu membuatku berpikir bahwa mereka berbahagia menyambutku. Aku sedikit lega. Aku mulai menyangka bahwa mereka yang menyelamatkanku dari kemurungan.
Aku terduduk dan mengusap kepalaku yang terasa nyeri. Aku disambut oleh dua orang yang unjuk diri dari tengah kerumunan, mereka 'lah Helmut dan Siegfried. Dua bersaudara itu menghampiriku dengan tangan yang terbentang.
Helmut menunjukkan raut keramahannya. Ia berlutut di dihadapanku dan mengusap puncak kepalaku.
Bodohnya aku, hanya karena gestur itu, aku serahkan kepercayaanku sepenuhnya kepada orang itu. Aku pikir, apa yang aku alami selama ini hanyalah lelucon kecil, bahwa mereka tetap menganggapku berharga dan tidak ada sedikit pun kebencian.
Dalam waktu cepat situasi itu berubah. Tidak ada seorang penyelamat di tanah ini. Wajah ramahnya hilang, ia menamparku keras-keras. Tindakan itu disambut tawa seakan itu adalah komedi di panggung.
"Menyedihkan. lihat, siapa yang baru ditinggalkan kekasihnya?" Mereka pun terbahak-bahak. "Kau terlalu cepat mempercayainya. Ia hanyalah pembohong ulung. Keluarganya menikahkan gadis itu dengan Tuan Baldur untuk setumpuk uang. Aku pikir juga demikian, Lutz. Si penari itu terlalu muda untuk seorang pria tua pemilik sirkus!" Ia mengangkat daguku dengan paksa, ia tergelak di hadapanku. "Kasihan dirimu, kau hanya pelampiasan atas mimpi-mimpinya yang hancur."
Firasatku mengatakan hal yang buruk. Aku terlambat, seharusnya aku melakukan pelarian itu lebih cepat. Kini, aku tahu harapanku sirna. Apa yang akan terjadi padaku selanjutnya jelas aku tidak pernah menginginkannya.
Aku tahu mereka sangat membenciku, mereka menyimpan banyak sekali dendam. Mereka secara bergantian mengatakan kekesalannya terhadapku. Sesi ini adalah ide dari Siegfried. Ia menyulut yang lainnya.
Mulut-mulut itu menghakimiku tiada hentinya, sebuah pukulan akan menyusul setelahnya. Setiap cacian itu memberikan lebam di wajahku. Orang-orang itu menyalahkanku atas ketidakadilan Tuan Baldur. Bahkan jujur saja, mengenai sistem upah kami, sebelumnya aku tidak tahu jika aku menerima lebih banyak daripada mereka, jika saja Helmut dan Siegfried tidak mengeluhkannya malam itu, sampai sekarang aku tidak akan tahu. Jika begitu, apakah aku yang pantas disalahkan?
Lebih tepatnya orang-orang itu tidak lebih dari pengecut. Lebih layak dikatakan bahwa mereka membenci Tuan Baldur, tetapi tidak mampu menentang apalagi memperlakukannya seperti ini. Mereka hanya mencari sosok yang lebih lemah untuk melampiaskan kebenciannya. Ini membuatku muak.
"Ia langsung tumbang, pada kenyataannya dia memang lemah!"
Mereka berhenti sejanak dan menatapku ramai-ramai. Aku pelan-pelan menggerakkan tubuhku dan menengadahkan kepala untuk melihat wajah-wajah biadab itu. Wajah yang sangat aku benci. Akan aku ingat bahkan setelah nyawaku lenyap.
Dua bersaudara itu--yang bertingkah layaknya pemimpin penyerangan ini--menghampiriku lagi. Siegfried menengadahkan kepalaku dengan paksa. "Arahkan pandanganmu ke sini, bodoh!" teriaknya. "Aku membencimu dan aku berharap kau mati. Beraninya kau menggeser posisi kami dengan kehinaanmu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...